Melindungi Laut dengan Kearifan Lokal Berbasis Konservasi

Laut merupakan suatu wilayah terluas di Bumi yang berperan penting dalam menyokong kehidupan mahluk hidup khususnya biota laut dan umat manusia. Saat ini, Bumi menjadi satu-satunya planet yang diketahui memiliki air laut, dengan lebih dari 70% permukaannya dilapisi oleh lautan. Volume air laut diperkirakan mencapai 1.335 juta kilometer kubik yang mencakup sekitar 96.5% dari seluruh air di Bumi (Wikipedia).

Laut menyediakan berbagai macam bentuk ekosistem dari terumbu karang, hutan mangrove hingga ekosistem padang lamun yang menyokong kehidupan biota di dalamnya. Biota-biota laut yang berlimpah tersebut menjadi asupan pangan bagi umat manusia dan beberapa diantaranya bernilai ekonomis tinggi seperti Siput Abalon, Kerang Mutiara, Ikan Kerapu, Lobster, Ikan Tuna, Teripang, Ikan Napoleon dan lain sebagainya.

Laut juga menjadi faktor terpenting dalam mendukung aktivitas umat manusia seperti perdagangan, transportasi, sumber energi, dan industri. Dalam sektor industri, Laut menyediakan minyak dan mineral yang berlimpah, misalnya saja garam yang sering kita konsumsi juga berasal dari Laut (Baca: Andai Laut Tak Terasa Asin: Suatu Kajian Menurut Islam dan Sains).

Karena peranannya yang begitu penting bagi aktifitas umat manusia, sehingga menyebabkan ekspoitasi yang terus meningkat dan berdampak langsung terhadap kerusakan ekosistem di dalamnya seperti ekosistem padang lamun, mangrove, dan terumbu karang. Dilansir dari Walhi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan bahwa luasan mangrove di Indonesia dalam kondisi baik hanya tersisa 1.671.140,75 hektar, sementara luasan yang rusak mencapai 1.817.999,93 hektar.

Demikian juga dengan ekosistem terumbu karang di Indonesia, dengan kondisi yaitu 5% berstatus sangat baik, 27,01% dalam kondisi baik, 37% persen dalam kondisi buruk, dan 30,02% dalam kondisi jelek (LIPI 2016).

Banyak faktor yang menjadi penyebab kerusakan ekosistem pesisir dan laut, mulai dari alih fungsi lahan, reklamasi, hingga penambangan pasir yang berdampak besar bagi nelayan kecil. Dari segi sektor perikanan pun demikian, sebagian besar status perikanan Indonesia masih mengalami eksploitasi dengan penangkapan secara berlebihan di sejumlah wilayah pengelolaan perikanan (WPP) (Walhi).

Dalam menyikapi ancaman kerusakan Laut, maka pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan melalui UU Nomor 45 Tahun 2009 yang dengan tegas memberikan hukuman pidana dan sanksi bagi pelaku aktifitas pencemaran. Selain aturan tersebut, hukuman pidana yang berkaitan dengan kasus pencemaran perairan juga diatur dalam UU Nomo 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Mongabay).

Usaha penyelamatan terumbu karang di Indonesia telah dilakukan melalui Program Coral Reef Rehabilition and Management Program (COREMAP) yang diinisiasi LIPI sejak tahun 2002 hingga 2004 dan kemudian dilanjutkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan melalui COREMAP II pada tahun 2006 hingga tahun 2010. 

Namun karena luasnya wilayah Indonesia dan sulitnya akses sehingga pengawasan wilayah Laut dan Pesisir di Indonesia masih belum terlalu optimal. Maka dari hal tersebut perlu adanya keterlibatan masyarakat lokal seperti yang dikatakan Ferse dalam jurnal Environmental Conservation yang terbit pada tahun 2010.
Melindungi Laut dengan Kearifan Lokal Berbasis Konservasi
Pantai Desa Wasuemba

Konservasi Laut berbasis kearifat lokal menjadi salah satu langkah strategis, mengingat banyak wilayah di Nusantara memiliki budaya yang menyangkut hal tersebut. Misalnya saja di Kecamatan Wabula Kabupaten Buton terdapat kearifan lokal berbasis konservasi yang disebut Kaombo. Penentuan wilayah kaombo dilakukan dengan cara musyawarah antara pemangku adat dan masyarakat setempat. Kaombo sendiri terbagi atas 2 yaitu kaombo saumuru dan kaombo awaktuu.

Pada kaombo saumuru diberlakukan pepali (pemali), yakni larangan melakukan eksploitasi sumberdaya laut atas dasar pemali. Sedangkan pada kaombo awaktuu mengatur perihal penutupan dan pembukaan kawasan laut pada waktu-waktu tertentu dengan tujuan agar biota maupun ekosistem di dalamnya bisa beregenerasi (Mustari dkk 2019).

Akibat adanya kearifan lokal tersebut dan ditambah lagi dengan adanya program COREMAP sehingga Kecamatan Wabula dinobatkan sebagai kawasan ekosistem terumbu karang terluas di Kabupaten Buton dengan luas tutupan karang mencapai 554,2 ha (Baca: Mengintip Keindahan Dasar Laut Wabula).

Kearifan lokal berbasis konservasi menjadi hal yang sangat efektif dilakukan dalam menjaga kelestarian Laut, dengan masyarakat ikut terlibat di dalamnya. Walaupun demikian, kearifan lokal tersebut perlu diperkuat dengan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik melalui Peraturan Daerah (PERDA) maupun peraturan diatasnya. Seperti halnya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Buton melalui Peraturan Bupati Buton Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Wabula dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Berbasis Hukum Adat.

Selain itu pemerintah juga dapat membentuk lembaga konservasi seperti COREMAP serta melakukan penguatan kelembagaan yang melibatkan masyarakat lokal sehingga kedua elemen tersebut dapat berkolaborasi untuk pengawasan dan perlindungan wilayah Laut dan Pesisir.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama