Budidaya Pembenihan Kerang Mutiara (Pinctada maxima)

Budidaya Pembenihan Kerang MutiaraTeknik budidaya kerang mutiara pada mulanya dikuasai oleh tenaga asing (Jepang) khusus untuk hatchery dan operasi penyuntikan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi bidang kelautan, maka pada dekade tahun 1980an telah terjadi alih teknologi dari tenaga asing ke tenaga kerja Indonesia (Hamzah dan Setyono, 2010; Hamzah, 2008a). Seiring berkembangan waktu, usaha budidaya kerang mutiara (P. maxima) mulai terhambat hal ini dikarenakan ketersediaan benih maupun induk di alam yang semakin berkurang dan masih sedikitnya usaha pembenihan kerang mutiara (P. maxima) pada beberapa daerah di Indonesia sehingga pembudidaya harus memesan benih dari luar daerah atau dari perusahaan lain. Budidaya kerang mutiara (P. maxima) sangat ditentukan pada proses pembenihan, yang dimana proses pembenihan sangat menentukan kualitas dan kuantitas kerang yang akan dihasilkan. Pengaruh kualitas air menjadi faktor penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva.

A. Biologi
Kerang mutiara (P. maxima) memiliki sepasang cangkang yang bentuknya tidak sama (asimetris), dimana cangkang sebelah kanan agak pipih sedangkan sebelah kiri lebih cembung. Bagian dorsal berbentuk datar dan panjang serta dihubungkan oleh semacam engsel berwarna hitam (Takemura and Kafuku, 1957 dalam Winanto, 2009). Engsel (hinge) ini dipengaruhi oleh otot aduktor yang terletak dipertengahan tubuh kerang (Hynd, 1954 dalam Sintawati, 1987). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertumbuhan kerang dalam keadan normal dan sehat dicirikan dengan hasaky yang tumbuh mekar serta tempelan bysuss pada substrat yang kuat (Hamzah dan Nababan, 2009).

Larva P. imbricata mempunyai toleransi yang rendah terhadap salinitas, apalagi jika salinitas turun sampai kurang dari 29 ‰. Pada kisaran salinitas 29–35 ‰, persentase perkembangan embrio sampai stadia D-veliger meningkat signifikan seiring dengan meningkatnya salinitas (Winanto dkk., 2009). Salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi metabolisme organisme akuatik khususnya larva kerang mutiara (P. maxima) adalah suhu yang dimana semakin rendah suhu maka laju metabolisme semakin menurun, sehingga laju pertumbuhan larva jadi lambat. Sebaliknya semakin tinggi suhu maka laju metabolisme makin meningkat dan akan diikuti dengan meningkatnya laju pertumbuhan larva (Winanto dkk., 2009). Lebih lanjut Winanto dkk. (2009) menjelaskan bahwa sintasan dan pertumbuhan larva P. maxima dari stadia veliger sampai plantigrade ternyata dipengaruhi oleh suhu dan salinitas.

B. Ekologi
Hamzah dan Sumadhiharga (2002) menyatakan bahwa kisaran ambang toleransi variasi musiman kondisi suhu dan salinitas yang ideal untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara stadia kritis adalah antara 28-290C dan salinitas antara 30-33 ppt. Suhu air sangat berperan dalam mengendalikan proses metabolisme, pada kisaran suhu antara 26-290C kerang mutiara sangat aktif melakukan kegiatan metabolisme dan mampu tumbuh dengan baik (Susilowati dan Sumantadinata, 2011). Menurut Matsui (1960) dalam Winanto (2009) pH air yang layak untuk kehidupan kerang mutiara (P. maxima) berkisar antara 7,8-8,6. Sedangkan pada pH 7,9-8,2 kerang mutiara dapat berkembang baik dan tumbuh dengan baik (Winanto, 2009).

Tiram dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar antara 5,20-6,60 (Imai, 1982 dalam Winanto 2009). Menurut Darmaraj (1983) di daerah populasi alami tiram P. sugilata menunjukan bahwa kandungan rata-rata oksigen terlarut di bagian permukaan air 4,22 ml/l dan dasar perairan 4,37 ml/l. Kebutuhan oksigen terlarut tiram mutiara (P. fucata) menunjukan bahwa tiram berukuran 40-50 mm mengkonsumsi oksigen 1,339 µl/l; ukuran 50-60 mm mengkonsumsi 1,650 µl/l dan ukuran 60-70 mm mengkonsumsi 1,810 µl/l (Darmaraj, 1983).

Kerang mutiara (P. maxima) tersebar pada daerah perairan Pilipina, Thailand, Australia, dan Indonesia. Sementara di Indonesia umumnya banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian jaya, Sulawesi dan Maluku terutama gugus kepulauan Arafura (Lind et al., 2007). Tingkah laku sebaran larva kerang mutiara, P. maxima dan P. martensii lebih condong bersifat phototaxis negatif atau tidak tertarik pada cahaya lampu dan senang menempel pada substrat yang berwarna gelap (Hamzah, 2013). Presentasi jumlah larva kerang mutiara (P. maxima) cenderung lebih banyak menempel pada spat kolektor yang berwarna hitam, kemudian disusul warna biru, merah, putih, dan kuning (Hamzah, 2003).

C. Budidaya Pembenihan

1. Seleksi Induk
Induk tiram yang diambil untuk dipijahkan merupakan induk yang telah matang gonad. Induk diseleksi dengan cara mengangkatnya keluar dari habitatnya yaitu laut. Selanjutnya, induk tiram akan membuka cangkanya akibat kekurangan oksigen (Winanto dkk., 2001). Setelah cangkang terbuka digunakan alat pembuka cangkang (shell opener) agar cangkang tahan terbuka. Ciri induk matang gonad yaitu : (1) induk telah memasuki fase TKG IV, (2) gonad pada induk jantan berwarna putih susu, (3) gonad pada induk betina berwarna kuning telur. Di samping itu, gonad terlihat menggelembung dan seluruh permukaan organ bagian dalam tertutup oleh sel gonad kecuali bagian kaki (Winanto dkk., 2001).

2. Pemijahan
Pemijahan dilakukan dengan metode donor sperma terlebih dahulu yaitu menggunakan sperma dari induk tiram mutiara yang tidak begitu bagus. Caranya adalah dengan membunuh salah satu induk dan mengambil spermanya kemudian mencacahnya lalu disebarkan ke dalam wadah pemijahan. Atau dapat dilakukan metode kejut suhu (thermal shock). Winanto (2004) menyatakan bahwa metode thermal shock dilakukan dengan menaikan suhu dari 28 – 35 0C. Induk yang berasal dari wadah donor sperma dipindahkan ke dalam wadah yang suhunya sudah dinaikkan kemudian didiamkan sebentar (20 – 30 menit) lalu dipindahkan lagi ke dalam wadah lain (bak fiber 3 m3) dengan suhu air normal yaitu 27 0C. Pemijahan induk tiram mutiara berhasil ditandai dengan keluarnya sperma dan telur 15 – 30 menit setelah perlakuan kejut suhu disertai membukanya cangkang dari tiap-tiap induk. Proses reproduksi diawali dengan fertilisasi eksternal yang terjadi di dalam air. Selama proses pemijahan biasanya induk jantan memijah lebih duluan, kemudian sekitar 30-35 menit baru induk betina mengelurkan sel-sel telurnya (Hamzah, 2013).

3. Perawatan Larva
Telur-telur tiram mutiara Pinctada maxima ditebar dan dipelihara pada bak-bak fiber yang berkapasitas 3 m3 dengan kondisi lingkungan sekitar harus dalam keadaan gelap dan tenang. Kualitas telur yang baik akan berada di permukaan dan kolom air sedangkan telur yang buruk akan berada di bawah dan mengendap (Winanto dkk., 2001).

kultur pakan kerang mutiara
Gambar 1. Kultur Pakan Alami Kerang Mutiara (P. maxima)

CMFRI (1991) dalam Supii (2007) menambahkan bahwa dalam budidaya pada stadia awal larva (D shape) sampai stadia umbo diberi pakan fitoplankton jenis Isochrisis galbana dengan kepadatan 5000 sel/ekor/hari. Beberapa jenis mikroalga yang digunakan sebagai pakan larva antara lain Nannochloris sp., Pavlova lutheri, Isochrysis galbana, Phaeodactilum tricornutum, Chaetoceros meulleri, Chaetoceros calcitran, Thalassiosira weisflogii, Dunaliella salina, Tetraselmis tetrathele, Tetraselmis suecica, namun mikroalga yang dapat dicerna oleh larva hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana (Martinez-Fernandez, 2004; Winanto, 2009).

4. Kelebihan dan Kelemahan (Hambatan)
Kelebihan dari pembenihan kerang mutiara yaitu memiliki nilai jual yang tinggi baik ekspor maupun lokal serta pembenihan dapat mengatasi kekurangan stok induk kerang di alam yang diambil baik untuk budidaya maupun langsung dijual. Sedangkan kendala/hambatan dalam budidaya kerang mutiara yaitu harus dilakukan secara hati–hati dan diusahakan meminimalkan waktu ketika kerang mutiara tersebut berada di luar air, karena hal tersebut dapat menimbulkan tekanan (stress) hingga menyebabkan kematian. Selain faktor biologi, kondisi kimia dan fisika perairan, juga dapat menyebabkan masalah yang serius pada kerang mutiara. Di antara faktor-faktor tersebut, yaitu turunnya salinitas, perubahan suhu, pasang dingin, “red tide”, hydrogen sulfide dan pencemaran melalui saluran limbah domestik atau industry (Anggorowati, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
  1. Anggorowati, D.A. 2008. Kematian Masal Pada Usaha Budidaya Kerang Mutiara. Oseana, XXXIII(2): 9-14.
  2. Dharmaraj. S. 1983. Oxygen Consumtion in Pearl Oyster Pinctada fucata (Gould) and Pinctada sugilata (Reeve). Proc. Symp. Coastal Aquaculture 2: 627-632.
  3. Hamzah, MS. 2003. Pengaruh Warna Spat Kolektor Terhadap Daya Tempel Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima) Dalam Bak pendederan. Dalam: Ruytno, Pramudji, dan Imam Supangat (eds.). Pesisir dan Pantai Indonesia VIII. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI Jakarta: 79-84.
  4. Hamzah, MS. 2008a. Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima) dengan Pemberian Jenis Pakan Alami yang Berbeda. Dalam: Hardianto et al. (eds.). Prosiding Seminar Nasional Kelautan IV. Universitas Hangtuah, Surabaya. Hal.:179-183.
  5. Hamzah, MS. 2013. Intensitas Cahaya Lampu Pijar Terhadap Perkembangan Embriogenesis dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Dep. Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB-Bogor, 5(2): 391-399.
  6. Hamzah, MS., dan Setyono, DED. 2010. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anakan Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada Kondisi Suhu dan Volume Pakan Alami yang Berbeda. Indonesian Journal of Marine Sciences, 2 (Edisis Khusus Februari 2010). Hal: 330-337.
  7. Hamzah, MS., dan Sumadhiharga, K. 2002. Studi Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anakan Kerang Mutiara (Pinctada maxima) Pada Kedalaman yang Berbeda di Perairan Teluk Kombal-Lombok Barat. Dalam: Kongres Nasional III, 21-24 Mei 2002, Bali.
  8. Lind, CE., Evans, BS., Taylor, JJU., and Jerry, DR. 2007. Population Genetics of a Marine Bivalve, Pinctada maxima, Throughout The Indo-Australian Archipelago Shows Differentiation and Decreased Diversity at Range Limits. Molecular Ecology, 16: 5193-5203.
  9. Martinez-Fernandez, E., Acosta-Salmon, H., and Rangel-Davalos, C. 2004. Ingestion and Digestion of 10 Species of Microalgae by Wing Pearl Oyster Pteria sterna (Gould, 1851) Larvae. Aquaculture, 230: 417-423.
  10. Sintawati. 1987. Proses Perkembangan dan Pertumbuhan Tiram Mutiara (Pictada maxima). Karya Ilmiah. Jurusan Biologi. Universitas Nasional. Jakarta. 61 hal.
  11. Supii, AI. 2007. Uji Coba Pembenihan Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada Hatchery Skala Rumah Tangga/Backyard (HSRT). Dalam: Prosiding Seminar Nasional Kelautan III, Univ. Hang Tuah. Muh Taufiqurrohman, Urip Prayogi, Giman dan A. Winarno (eds.). Pembangunan Kelautan Berbasisi IPTEK Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. Surabaya: 49-58 Hal.
  12. Susilowati, R., dan Sumantadinata, K. 2011. Keragaman Genetik Tiram Mutiara Sebagai Informasi Dasar untuk Pemuliaan Tiram Mutiara. Dalam buku : Refleksi Pengembangan Budidaya Kekerangan di Indonesia. M. F. Sugadi, I Nyoman A. Giri & D. Pringgenies (eds.). Badan Penelitian dan Pengembangan Kelaulatan dan Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Jakarta : 53-67.
  13. Winanto, T. 2009. Kajian Perkembangan larva dan Pertumbuhan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Pada Kondisi Lingkungan Pemeliharaan Berbeda. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
  14. Winanto, T., Soedharma, D., Affandi, R., dan Sanusi, HS. 2009. Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi Larva Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson). Jurnal Biologi Indonesia, 6(1): 51-69.
  15. Winanto, T., Soekendarsi, E., Paonganan, Y. 2001. Hatchery Production of Spat of Pearl Oyster Pinctada maxima (jameson) in Indonesia. Journal Phinket Marine Biology Special Publication 25(1): 189-192.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama