Polutan di Lingkungan Perairan dan Dampaknya Bagi Ekosistem

Kehadiran polutan (stressor) di perairan akan memberikan menyebabkan stress pada ikan atau biota budidaya.

Stressor lingkungan utama adalah kondisi kimia perairan yang kurang baik.  Selain bahan pencemar yang merupakan stressor lingkungan yang umum, kondisi atau perubahan pada parameter kualitas air seperti oksigen terlarut, amonia, kesadahan, pH, tekanan gas dan suhu juga dapat menyebabkan stress pada ikan. 

Konsentrasi logam-logam yang tinggi seperti tembaga, kadmium, seng dan besi dapat juga menyebabkan stress dan kematian pada ikan. 

Bahan-bahan pencemar seperti arsenik, klorin, sianida, beberapa fenol dan polychlorinated biphenyls merupakan stressor yang kuat pada semua jenis ikan. 

Stressor lingkungan lainnya yang potensial meliputi insektisida, herbisida, dan fungisida.  Sumber-sumber industri, domestik dan pertanian menambah jumlah bahan pencemar di lingkungan, yang mempengaruhi ikan pada semua tahap kehidupan. 

Stressor fisik meliputi penanganan, kepadatan, pembatasan, pengangkutan atau bentuk tekanan fisik lainnya. 

Stress biologis dapat terjadi antara individu-individu dalam lingkungan terbatas seperti dalam tanki eksperimen atau mungkin di lingkungan alami.  Patogen dapat juga digolongkan sebagai stressor biologis.

Penyebab stress lingkungan terutama meliputi kondisi bahan kimia yang kurang baik.  Selain bahan pencemar yang merupakan penyebab stress lingkungan yang umum, kondisi atau perubahan pada parameter kualitas air seperti oksigen terlarut, amonia, kesadahan, pH, tekanan gas dan suhu juga dapat menyebabkan stress pada ikan (Iwama dkk.,2003). 

Konsentrasi logam-logam yang tinggi seperti tembaga, kadmium, seng dan besi dapat juga menyebabkan stress dan kematian pada ikan (Fuentes  & Eddy, 1997). 

Bahan-bahan pencemar seperti arsenik, klorin, sianida, beberapa fenol dan polychlorinated biphenyls merupakan penyebab stress yang kuat pada semua jenis ikan. Penyebab stress lingkungan lainnya yang potensial meliputi insektisida, herbisida, dan fungisida.

Sumber-sumber industri, domestik dan pertanian menambah jumlah bahan pencemar di lingkungan, yang mempengaruhi ikan pada semua tahap kehidupan (Baca: Sampah Plastik Meningkat, Hewan Laut Terancam)

Penyebab stress fisik meliputi penanganan, kepadatan, pembatasan, pengangkutan atau bentuk tekanan fisik lainnya. 

Stress biologis dapat terjadi antara individu-individu dalam lingkungan terbatas seperti dalam tanki eksperimen atau mungkin di lingkungan alami. Patogen dapat juga digolongkan sebagai penyebab stress biologis (Iwama dkk., 2003).

Limbah yang paling umum di daerah perkotaan adalah detergen yang mengandung  LAS dibuat dari linear alkylbenzene sulfonate (LAB) dalam kontainer khusus sistem tertutup.  LAB diproduksi melalui reaksi parafin dengan benzene dan suatu katalis kemudian LAB diisolasi dengan cara destilasi. 

LAB diberi sulfonat yang selanjutnya dinetralkan menjadi garam sodium LAS (OECD, 2005).  LAS diproduksi dalam kuantitas terbesar secara luas, terutama digunakan dalam detergen laundry bubuk dan cair dan pembersih domestik (Thiele, 2006).

Polutan dapat masuk ke suatu lingkungan dengan berbagai cara. Misalnya unsur logam yang dapat masuk secara alami karena sudah berada di bumi, batuan dan tanah secara alamiah kemudian masuk ke lingkungan laut melalui hujan dan erosi.

Sumber lainnya adalah melalui buangan industri, limbah rumah tangga, pertanian. Laut sering dijadikan sebagai lokasi pembuangan akhir dari berbagai sisa aktivitas manusia di daratan (Baca: Sampah Plastik di Laut Semakin Meningkat, Indonesia Jadi Penyumbang Terbesar di Dunia).

Banyak sumber polutan pencemar lingkungan akuatik, salah satunya adalah logam, yang kini banyak dipakai dalam proses industri dan dipakai oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti kosmetik, bahan bakar dan lainnya.

Limbah tersebut mengandung bahan kimia yang bersifat toksik terhadap biota perairan misalnya mengandung logam berat dan pestisida.

Keadaan ini menyebabkan kondisi lingkungan tidak sesuai lagi dengan peruntukannya, yang pada gilirannya akan berpengaruh pula terhadap sumberdaya hayati perairan. Selain itu pencemaran yang terjadi akan berdampak bagi manusia sebagai pengguna sumberdaya laut (Puspitasari, 2007).

Polutan dapat masuk ke air dan sedimen dan dapat mempengaruhi rantai makanan. Respon yang timbul akan bermacam-macam, dari tingkat organisme contohnya adalah efek psikologis, patologis, penurunan kondisi lingkungan, pertumbuhan, fekunditas dan ketahanan hidup.
Pada tingkat populasi dapat menimbulkan penurunan kelimpahan dan reproduksi dan pada tingkat komunitas, dapat menimbulkan penurunan keanekaragaman dan kepadatan serta perubahan struktur tropik. Jadi, masuknya suatu polutan akan membawa dampak yang luas mulai dari tingkat organisme sampai tingkat komunitas bahkan bisa meluas sampai ekosistem (Puspitasari, 2007).

Dampak Polutan Bagi Ekosistem
Polutan yang memasuki lingkungan laut secara terus menerus dapat mengalami biokonsentrasi. Proses ini biasanya diikuti oleh bioakumulasi dan biomagnifikasi yang akan menimbulkan efek merugikan bagi organisme akuatik.

Bila biomagnifikasi terus berlanjut, efeknya akan menimpa manusia sebagai konsumen tertinggi dalam jaring-jaring makanan. Oleh karena itu, pemantauan konsentrasi polutan dalam lingkungan mutlak diperlukan untuk dapat dilakukan antisipasi sejak dini (Puspitasari, 2007).

Biokonsentrasi merupakan kondisi peningkatan konsentrasi polutan di lingkungan. Biasanya kadar polutan akan di atas kadar normal yang diperbolehkan. Organisme yang mengalami pemaparan bahan toksik terus menerus akan mengalami bioakumulasi.

Bioakumulasi merupakan suatu proses dimana substansi kimia mempengaruhi makhluk hidup dan ditandai dengan peningkatan konsentrasi bahan kimia di tubuh organisme dibandingkan dengan konsentrasi bahan kimia itu di lingkungan.

Karena penyerapan bahan kimia ini lebih cepat daripada proses metabolisme dan ekskresi tubuh organisme, maka bahan-bahan kimia ini akan terakumulasi di dalam tubuh (Puspitasari, 2007).

Jika bioakumulasi ini terus berlanjut maka dapat terjadi biomagnifikasi. Biomagnifikasi melibatkan rantai makanan sebagai penghubungnya. Pada biomagnifikasi, terlihat adanya peningkatan konsentrasi bahan kimia pada tiap tingkatan trofik, jadi semakin tinggi tingkatan trofiknya akan diikuti peningkatan kadar bahan kimia tersebut.

Biomagnifikasi adalah kecenderungan peningkatan kadar bahan kimia seiring peningkatan level trofik pada jaring atau rantai makanan. Proses ini dimulai ketika produsen mengambil nutrien dari lingkungan sekitar untuk disintesis menjadi molekul kompleks yang berguna untuk proses biologis (Puspitasari, 2007).

Sebagai contoh pencemaran LAS (linear alkylbenzene sulfonate) di perairan menunjukkan indikasi berbahaya bagi lingkungan (ikan, invertebrata dan alga).  Hasil penelitian Tim Pengabdian Masyarakat dari Institut Teknologi Bandung (ITB) bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 20 produk detergen dalam negeri, membuktikan bahwa senyawa dalam detergen dapat berubah sifat  menjadi karsinogen (menyebabkan kanker) (Rulianto dan Hidayat, 2001). 

Sisa bahan surfactant yang terdapat dalam detergen dapat membentuk chlorbenzene pada proses klorinisasi pengolahan air minum PDAM. Chlorbenzene merupakan senyawa kimia yang bersifat karsinogen (Badan POM, 2004).

Selain itu tingkat keasaman (pH) detergen rata-rata 10 hingga 12, sementara pH yang bisa ditoleransi kulit manusia adalah 6 hingga 9.  Akibatnya detergen menimbulkan iritasi pada kulit sehingga membuka pintu bagi masuknya senyawa berbahaya detergen ke tubuh manusia (Rulianto dan Hidayat, 2001).

Selain berbahaya bagi manusia, air limbah detergen yang dibuang ke perairan umum mengancam kerusakan lingkungan. 

LAS dapat merusak insang dan organ pernapasan ikan yang menyebabkan menurunnya toleransi ikan terhadap kondisi oksigen rendah dan kematian ikan karena sulit bernapas (Badan POM, 2004 dan Dubik, 1998). 

Zat yang ada dalam detergen memacu pertumbuhan eceng gondok dan gulma air.  Ledakan jumlah tanaman pengganggu ini akan menyumbat aliran sungai dan menimbulkan pendangkalan. 

Tanaman yang menutup permukaan air menghambat masuknya sinar matahari dan oksigen ke air, akibatnya kualitas air menurun dan merugikan kehidupan ikan (Rulianto dan Hidayat, 2001). 

Pengaruh yang sama juga terjadi jika busa detergen yang menumpuk di sungai-sungai menutupi permukaan air.  Keberadaan busa-busa di permukaan air menjadi penghalang kontak udara dengan air sehingga menurunkan oksigen terlarut. 

Dengan demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Badan POM, 2004; Rulianto dan Hidayat, 2001).

Dampak Polutan Bagi Organisme Akuatik
Ikan dihadapkan pada adanya stressor (stressor) baik di lingkungan alami maupun lingkungan buatan seperti di laboratorium atau budidaya.  Intensitas dan jangka waktu paparan stressor, pada skala besar dapat menentukan apakah biota mampu mengatasi stressor (Iwama dkk., 2003; Iwama, 2008).

Stressor lingkungan utama adalah kondisi kimia perairan yang kurang baik.  Selain bahan pencemar yang merupakan stressor lingkungan yang umum, kondisi atau perubahan pada parameter kualitas air seperti oksigen terlarut, amonia, kesadahan, pH, tekanan gas dan suhu juga dapat menyebabkan stress pada ikan. 

Konsentrasi logam-logam yang tinggi seperti tembaga, kadmium, seng dan besi dapat juga menyebabkan stress dan kematian pada ikan.  Bahan-bahan pencemar seperti arsenik, klorin, sianida, beberapa fenol dan polychlorinated biphenyls merupakan stressor yang kuat pada semua jenis ikan.

Stressor lingkungan lainnya yang potensial meliputi insektisida, herbisida, dan fungisida.  Sumber-sumber industri, domestik dan pertanian menambah jumlah bahan pencemar di lingkungan, yang mempengaruhi ikan pada semua tahap kehidupan. 

Stressor fisik meliputi penanganan, kepadatan, pembatasan, pengangkutan atau bentuk tekanan fisik lainnya.  Stress biologis dapat terjadi antara individu-individu dalam lingkungan terbatas seperti dalam tanki eksperimen atau mungkin di lingkungan alami.  Patogen dapat juga digolongkan sebagai stressor biologis (Iwama dkk., 2003; Witeska, 2005; Iwama, 2008).

Respon fisiologis ikan terhadap stress digolongkan ke dalam respon primer, sekunder dan tersier.  Respon primer dimulai dengan pengenalan keadaan (fisik dan kimia) atau merasakan (kehadiran pemangsa) stressor oleh CNS (central nervous system) (Barton, 2002; Crawshaw et al., 1985 dalam van den Burg, 2005). 

Kebanyakan stressor mempengaruhi respon neuroendocrine/endocrine, yang ditandai dengan pelepasan secara cepat hormon stress (catecholamines/CATS dan cortisol) ke dalam peredaran darah (Barton, 2002; Gamperl et al., 1994 dalam Iwama dkk., 2003; Bradley, 2006; Momoda, 2006).

CATS dilepaskan dari sel-sel chromaffin di ginjal cranial teleostei dan juga dari bagian akhir adrenergic nerves. Cortisol dilepaskan dari jaringan interrenal yang terletak dalam ginjal cranial, sebagai respon terhadap beberapa hormon pituitary tetapi sangat kuat terhadap adrenocorticotrophic hormone (ACTH). 

ACTH dapat juga merangsang pelepasan CAT epinephrine, dan peningkatan secara terus-menerus tingkat cortisol dapat mempengaruhi penyimpanan dan pelepasan CAT pada ikan (Reid et al., 1996 dalam Iwama dkk., 2003; Wendelaar, 1997 dalam van den Burg, 2005; Bradley, 2006).

Respon sekunder meliputi cakupan luas perubahan biokimia dan fisiologis dalam hubungan dengan stress (Vijayan et al., 1994 dalam Iwama, 2008). 

Respon yang terjadi berupa perubahan metabolik (peningkatan glukosa dan laktat, serta penurunan glikogen dalam jaringan), perubahan seluler (peningkatan produksi heat shock protein/HSP), gangguan osmoregulasi (keseimbangan klorida, sodium dan air), perubahan dalam tampilan hematologis (hematocrit, leukocrit dan hemoglobin), perubahan dalam tampilan fungsi imun (aktivitas lysozyme dan produksi antibodi) (Barton, 2002).

Respon tersier meliputi perubahan dalam keseluruhan tampilan karakteristik (pertumbuhan, kapasitas renang dan resistensi terhadap penyakit), dan modifikasi pola tingkah laku biota atau tingkat populasi berhubungan dengan stress (Barton, 2002; Barton et al., 2002 dalam Iwama dkk., 2003).   
 
Jika ikan tidak mampu menyesuaikan atau mengadaptasi stress, perubahan keseluruhan biota dapat terjadi sebagai hasil pengalihan energi basal untuk mengatasi peningkatan kebutuhan energi sehubungan dengan stress. 

Dengan demikian paparan stressor yang terus-menerus, tergantung pada intensitas dan durasi, dapat memicu penurunan dalam pertumbuhan, resistensi penyakit, keberhasilan reproduksi, tampilan renang dan karakteristik lain keseluruhan biota atau populasi. 

Pada tingkat populasi, penurunan rekruitmen dan produktivitas dapat mengubah kelimpahan dan keanekaragaman spesies dalam komunitas (Barton, 2002; Iwama dkk., 2003).

Kepekaan ikan terhadap stressor yang berbeda juga dipengaruhi oleh komponen genetik. Terdapat perbedaan dalam respon stress antar spesies dan perbedaan antar stok beberapa spesies dalam toleransinya terhadap stressor yang diterapkan (Barton, 2002; Iwama dkk., 2003; Iwama 2008).

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama