Tepung Kedelai, Sumber Protein Nabati Utama pada Pakan Ikan dan Udang

Protein merupakan senyawa esensial dan makro nutrient yang sangat dibutuhkan oleh setiap mahluk hidup. Protein dimanfaatkan untuk pertumbuhan, sumber energi, regenerasi sel, imunitas, serta komponen penyusun utama enzim dan hormon bagi mahluk hidup.

Karena fungsinya yang sangat penting sehingga kadar protein wajib diperhatikan dalam formulasi pakan ikan dan udang.

Kadar protein yang terlalu rendah dapat menyebabkan penurunan performa pertumbuhan dan penurunan sistem imun pada ikan dan udang (Baca: Mengenal Lebih Jauh Lobster Organisme Akuatik Bernilai Ekonomis Tinggi).

Sebaliknya, kandungan protein yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan pencemaran dengan meningkatnya ammonia (NH3) pada lingkungan perairan (Baca: Polutan di Lingkungan Perairan dan Dampaknya Bagi Ekosistem).

Selain berdampak pada lingkungan, tingginya kadar protein juga berdampak secara ekonomis. Sumber bahan baku protein yang mahal di pasaran, otomatis berpengaruh terhadap harga jual pakan yang diproduksi. Sehingga penggunaan bahan baku protein perlu untuk dipertimbangkan (Baca: Akuakultur Berbasis Ekonomi Biru).

Tidak hanya industri perikanan saja, industri lainnya juga memanfaatkan sumber bahan baku protein seperti industri peternakan, industri pangan, farmasi, kesehatan dan lain sebagainya. Persaingan industri dalam pemanfaatan protein tersebut menyebabkan kelangkaan sumber bahan baku di pasaran (Baca: Pertumbuhan Ekonomi Sumberdaya Laut Indonesia).

Tepung ikan (fish meal) merupakan sumber bahan baku protein yang banyak digunakan akibat kandungan nutrisinya yang tinggi seperti protein kasar (60–72%), kaya mineral, vitamin dan kandungan nutrisi lainnya. Mudah dicerna dan sangat cocok untuk hewan akuatik seperti ikan dan udang.

Namun seiring berjalannya waktu tepung ikan terus mengalami kelangkaan dan peningkatan harga jual. Sehingga berbagai kajian terus dilakukan untuk mencari alternatif pengganti tepung ikan (FM) dalam pakan.

Tepung Kedelai, Sumber Protein Nabati Utama pada Pakan Ikan dan Udang - Hantu Laut
Tepung Kedelai (Soybean Meal) (Sumber: sodrugestvo.com)

Tepung kedelai (soybean meal) merupakan sumber protein nabati utama yang banyak digunakan dewasa ini. Tepung kedelai (SBM) telah menjadi alternatif pengganti tepung ikan pada pakan ikan dan udang.

Tepung kedelai (SBM) memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yaitu mencapai 40-48% dengan asam amino yang cukup kompleks, crude oil 20-25%, serta kaya akan vitamin dan mineral.

Tepung Kedelai, Sumber Protein Nabati Utama pada Pakan Ikan dan Udang - Kandungan Tepung Kedelai - Hantu Laut
Kandungan Tepung Kedelai (Sumber: Novriadi 2019)

Selain itu, tepung kedelai juga mengandung senyawa Isoflavones, Steroid hormones dan Glyceollins yang dapat berfungsi sebagai anti-oksidan untuk menetralisir radikal bebas (Novriadi 2019).

Kelemahan Tepung Kedelai

Walaupun memiliki kandungan nutrisi yang baik, tepung kedelai juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya yaitu ia mengandung senyawa anti nutrisi seperti asam fitat.

Asam fitat sendiri merupakan bentuk penyimpanan fosfor dan menjadi antagonis bagi mineral seperti kalsium (Ca), dan magnesium (Mg). Tingginya asam fitat dalam pakan dapat mengganggu penyerapan senyawa Ca dan Mg bagi ikan maupun udang (Olmos et al. 2011). (Baca: Biomineralisasi dan Proses Pembentukan Cangkang Moluska).

Senyawa anti nutrisi lainnya yaitu meliobosa, raffinose, stakiosa, oligosakaria, hemagglutinin, lektin, anti-vitamin, saponin, estrogen, lisin-calin serta oligosakarida faktor flatulensi seperti rafinosa dan stakiosa.

Selain memiliki senyawa anti nutrisi, tepung kedelai juga memiliki asam amino yang lebih rendah dibandingkan tepung ikan seperti lisin, metionin, histidine, glisin, dan alanin. Kandungan mineralnya juga cukup terbatas seperti kalsium, fosfor, natrium dan besi (Olmos et al. 2011).

Unsur-unsur tersebut sangat dibutuhkan oleh udang dalam asupan pakan. Misalnya saja mineral, walaupun terdapat di air namun udang juga sangat membutuhkannya dalam asupan pakan.

Mineral menjadi unsur utama dalam hemolimf udang serta berfungsi dalam mendukung pertumbuhan, reproduksi, fisiologis dan imunitas udang.

Meningkatkan Performa Tepung Kendelai (SBM)

Demi meningkatkan kualitas tepung kedelai terkhusus dalam mengatasi senyawa anti nutrisi, maka para ahli terus melakukan kajian dengan solusi yang diperoleh antara lain:

1. Fermentasi

Proses fermentasi biasanya dilakukan dengan menafaatkan mikroorganisme (mikroba) seperti jenis Bacillus subtilisAspergillus oryzaeCandida utilisLactobacillus plantarum, hingga ragi Phaffa hodozyma (Baca: Sampah Plastik Semakin Meningkat di Laut, Mikroba Bisa Jadi Solusi?).

Bakteri-bakteri tersebut, khususnya jenis Bacillus subtilis telah dilaporkan dapat memproduksi enzim protease (Wang et al. 2014).

Berdasarkan beberapa kajian, tepung kedelai yang telah difermentasi terbukti dapat menurunkan senyawa anti nutrisi, dan meningkatkan kandungan gizi seperti crude protein yang lebih tinggi, dan meningkatkan kandungan asam amino. 

Sehingga penambahan tepung kedelai yang telah difermentasi pada pakan, menghasilkan pakan yang berkualitas dengan meningkatkan kecernaan ikan, serta mencegah abnormalitas pada hati dan sistem pencernaan (Novriadi 2019).

2. Enzimatis

Tepung kedelai juga dapat ditingkatkan nilai gizinya dengan treatment campuran (cocktail) enzim sebagai teknik pegolahan lanjutan.

Teknik ini secara sederhana mirip dengan prosedur untuk memproduksi protein konsentrat dengan teknik hidrolisis yaitu memasukkan tepung kedelai ke dalam fermentor yang berisikan enzim untuk meningkatkan nutrien pada kondisi lingkungan dan waktu tertentu (Novriadi 2019).

Beberapa enzim seperti phytase, xylanase, β-glukanase, selulase, pectinase, protease, dan amilase menjadi enzim yang sering digunakan.

Enzim β-glukanase dan protease misalnya telah terbukti dapat meningkatkan daya cerna ikan rainbow trout untuk semua jenis nutrien dalam pakan dengan konsentrasi tepung kedelai yang tinggi (Dalsgaard et al. 2012).

3. Hidrolisis

Hidrolisis dapat diartikan sebagai proses pemecahan suatu senyawa kimia menjadi beberapa senyawa sederhana dengan cara mereaksikannya dengan air (H2O). Terdapat dua jenis proses hidrolisis antara lain hidrolisis enzimatis dan hidrolisis kimiawi (asam).

Enzim memiliki kemampuan untuk mengaktifkan senyawa lain secara spesifik dan dapat meningkatkan kecepatan reaksi sehingga proses hidrolisis enzimatis akan lebih cepat dibanding hidrolisis secara kimiawi.

Pengaplikasian bioteknologi seperti halnya dalam hidrolisis enzimatis, dapat meningkatkan karakteristik nutrisi pada kedelai maupun bahan nabati lainnya.

Hidrolisis enzimatis telah dilaporkan dapat meningkatkan ketersediaan peptida dan asam amino untuk penyerapan. Hidrolisis menghasilkan fraksi protein paling efektif dari tepung kedelai yang mengarah pada pembentukan peptida bioaktif.

Peptida yang ada dalam hidrolisat tersebut dapat berfungsi sebagai antioksidan, bertindak sebagai donor elektron dan berkontribusi pada pemeliharaan sistem antioksidan

Sehingga dengan demikian, hidrolisat kedelai terbukti dapat menggantikan tepung ikan hingga 85% dari komposisi pakan tanpa mengganggu pertumbuhan ikan (Uczay et al. 2019).

4. Treatment Fisik

Treatment fisik merupakan metode yang sering diterapkan oleh masyarakat tradisional. Umumnya treatment ini dilakukan dengan memberikan perlakuan suhu (pemanasan) pada sampel.

Secara teoritis, energi panas yang diberikan umumnya dapat merusak susunan fisik molekul sehingga memudahkan dalam proses enzimatis. Treatment ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, kadar air dan durasi waktu.

Tepung kedelai yang diberikan perlakuan suhu panas (200⁰C) selama 20 menit dalam oven, menunjukan penurunan aktivitas tripsin inhibitor secara signifikan.

Struktur Primer Tripsin Inhibitor Kunitz pada kedelai (Sumber: Vagadia et al. 2017)

Struktur Primer Tripsin Inhibitor Kunitz pada kedelai (Sumber: Vagadia et al. 2017)

Pada perlakuan pengeringan secara konvensional (suhu 100oC) selama dua jam, tripsin inhibitor mengalami penurunan hingga ke batas aman, dengan aktivitas inhibitor berkurang hingga 80%, tanpa mempengaruhi kelarutan nitrogen dan warna tepung kedelai.

Pada percobaan yang sama, pengukusan tepung kedelai selama sepuluh menit diikuti dengan pengeringan udara panas pada suhu 60oC dapat menurunkan tingkat aktivitas inhibitor hingga 80% setelah tiga jam (Vagadia et al. 2017).

Dewasa ini treatment fisik terus mengalami perkembangan, tidak hanya dengan perlakuan suhu, namun juga menggunakan energi listrik.

Skema Pemanasan Ohmik pada Pengolahan Susu kedelai (Sumber: Li et al. 2011)

Pemanasan ohmik adalah metode pemrosesan termal tingkat lanjut di mana arus listrik dialirkan pada pakan. Efek elektrokimia dari pemanasan ohmik mampu menonaktifkan tripsin inhibitor.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lu  et al. (2015), pemanasan ohmik (220V, 50Hz) untuk periode lebih dari 3 menit secara efisien menonaktifkan tripsin inhibitor (TI) jika dibandingkan dengan metode kompor listrik selama 3 menit.

Treatment fisik terkhusus yang diterapkan secara tradisional, apabila dilakukan secara tidak optimal (kurang hati-hati) dapat memberikan kerugian seperti rusaknya nutrisi penting lainnya dalam bahan baku (tepung kedelai).

5. Treatment Kimia

Treatment kimiawi merupakan treatment yang dilakukan dengan memanfaatkan bahan kimia yang umumnya bersifat asam maupun basa.

Perlakuan asam sering digunakan untuk mengubah konformasi protein dan meningkatkan sifat fungsional sumber nabati melalui tolakan elektrostatik antarmolekul.

Huang et al. (2019) melaporkan bahwa asam asetat + Fe(II) terbukti mampu meningkatkan nilai gizi bungkil kedelai dengan menurunkan senyawa anti nutrisi namun tetap mempertahankan kualitas nutrisi awal.

Tepung kedelai yang diolah dengan asam askorbat dan tembaga sulfat menunjukkan inaktivasi tripsin inhibitor hingga 90% pada suhu 65⁰C dalam waktu 1 jam.

Hal ini disebabkan karena aksi pro-oksidan dari asam askorbat dan tembaga sulfat memberikan dampak langsung pada tripsin inhibitor (Vagadia et al. 2017).

Tepung kedelai yang telah diolah baik dengan cara fermentasi, enzimatis, dan lain sebagainya sudah menjadi bahan protein utama yang sering digunakan oleh industri akuakultur dewasa ini. Bahan tersebut sudah banyak di aplikasikan pada pakan premium maupun pakan fungsional untuk mendukung kesehatan, imunitas dan pertumbuhan ikan maupun udang yang dibudidayakan (Baca: Pakan Fungsional (Functional Feed) dalam Akuakultur).

REFERENSI

Dalsgaard J, Verlhac V, Hjermitslev NH, Ekmann KS, Fischer M, Klausen M, Pedersen PB. 2012. Effects of exogenous enzymes on apparent nutrient digestibility in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) fed diets with high inclusion of plant-based protein. Anim. Feed Sci. Technol. 171: 181-191.

Huang L, Xu Y, Zhou Y. 2019. Improvement of nutritional quality of soybean meal by Fe(II)-assisted acetic acid treatment. Food Chem. 283: 475-480.

Li X, Toyoda K, Ihara I. 2011. Coagulation process of soymilk characterized by electrical impedance spectroscopy. J. Food Eng. 105: 563-568.

Lu L, Zhao L, Zhang C, Kong X, Hua Y, Chen Y. 2015. Comparative effects of ohmic, induction cooker, and electric stove heating on soymilk trypsin inhibitor inactivation. J. Food Sci. 80: 495-503.

Novriadi R. 2019. Nilai gizi tepung kedelai sebagai subtitusi tepung ikan. Dalam: Majalah Info Akuakultur No. 48, Januari 2019.

Olmos J, Ochoa L, Paniagua-Michel J, Contreras R. 2011. Functional feed assessment on Litopenaeus vannamei using 100% fish meal replacement by soybean meal, high levels of complex carbohydrates and Bacillus probiotic strains. Mar. Drugs. 9: 1119-1132.

Uczay J, Battisti EK, Lazzari R, Pessatti ML, et al. 2019. Fish meal replaced by hydrolysed soybean meal in diets increases growth and improves the antioxidant defense system of silver catfish (Rhamdia quelen). Aquac Res, 1–10.

Vagadia BH, Vanga SK, Raghavan V. 2017. Inactivation methods of soybean trypsin inhibitor – A review, Trends in Food Science & Technology. 64: 115-125.

Wang J, Liu Z, Wang Y, Cheng W, Mou H. 2014. Production of a water-soluble fertilizer containing amino acids by solid-state fermentation of soybean meal and evaluation of its efficacy on the rapeseed growth. J. Biotechnol. 187: 34–42.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama