Mengenal Lebih Jauh Lobster Organisme Akuatik Bernilai Ekonomis Tinggi

Indonesia sebagai Negara kepualauan yang mempunyai garis pantai kurang lebih 81.000 km dengan luas perairan pantai 5,8 juta km2 merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan budidaya laut. Kondisi  seperti ini merupakan modal untuk pengembangan perekonomian, khususnya bagi sub sector perikanan.

Selama ini pemanfaatan sumber daya perikanan laut sebagian besar masih terbatas pada usaha penangkapan atau pengumpulan dari alam. Produksi ikan melalui usaha budidaya dimulai sejak tahun 1960, namun penerapan kolam dan keramba jaring apung sebagai sarana produksi untuk tujuan komersil baru dimulai pada tahun 1970.

Selanjutnya usaha budidaya ikan laut di Indonesia pertama kali dirintis oleh nelayan Kepulauan Riau pada tahun 1978 yakni dengan sistem karamba tancap dengan pasaran pasar Singapura, sedangkan salah satu komoditas yang dibudidayakan adalah teripang.

Budidaya laut yang juga dikenal sebagai Marine Aquaculture atau Marineculture, secara lebih luas juga disebut Sea Farming, terdiri dari beberapa kegiatan pemeliharaan berbagai species organisme laut secara terkendali, disimak dari tingkat pengendalian pada budidaya laut dikenal teknologi pameliharaan intensif, semi intensif, dan ekstensif. Kata keramba jaring apung (kejapung) bisa digunakan untuk menamai wadah pemeliharaan ikan terbuat dari jaring yang di bentuk segi empat atau silindris dan diapungkan dalam air permukaan menggunakan pelampung dan kerangka kayu, bambu, atau besi, serta sistem penjangkaran.

Lokasi yang dipilih bagi usaha pemeliharaan ikan dalam kejapung relative tenang, terhindar dari badai dan mudah dijangkau.

Lobster atau udang barong atau udang karang (Panulirus spp.) merupakan komoditas perikanan yang potensial dan bernilai ekonomis penting untuk ekspor. Permintaan lobster, untuk pasar domestik maupun ekspor terus meningkat (Setyono, 2006). Produksi lobster di Indonesia dipasok hampir dari semua provinsi, dimana Jawa memberikan kontribusi sebesar 10.4% dari total produksi lobster di Indonesia pada periode 1997 – 2007.

Daerah penghasil lobster di Pulau Jawa yang potensial adalah Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dan Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Berdasarkan data statistic perikanan di Propinsi Yogyakarta lobster merupakan komoditas perikanan paling penting meskipun kontribusinya hanya 3% namun nilai produksinya mencapai Rp. 2,8 milyar (Aisyah dan Triharyuni, 2009).
Klasifikasi dan Morfologi
Lobster batu (Panulirus penicillatus) merupakan salah satu jenis udang karang yang terdapat di perairan Indonesia. Habitat lobster terdapat di daerah karang-karang atau terumbu karang yang tumbuh subur di perairan Indonesia (Subani, 1981).

Indonesia diperkirakan memiliki 6 jenis udang karang (Moosa dan Aswandy, 1984) meliputi jenis lobster batu (Panulisrus penicillatus), pasir (P. homarus), mutiara (P. ornatus), batik (P. femoristriga), bambu (P. versicolor) dan pakistan (P. poliphagus).

Menurut Waterman dan Chace (1960) dalam Moosa dan Aswandy (1984), klasifikasi lobster dijelaskan sebagai berikut : Fillum : Invertebrata, Super class: Crustacea, Class: Malacostraca, Ordo: Decapoda, Family: Palirunidae, Genus: Panulirus, dan Species: Panulirus sp.

 
Gambar 1. Morfologi Lobster (Panulirus spp.)

Lobster sering kali disebut dengan spiny lobster. Diindonesia, selain dikenal sebagai udang barong atau udang karang, lobster juga memiliki berbagai nama daerah. Beberapa diantaranya adalah urang takka (makasar), koloura (kendari), loppa (bone), hurang karang (sunda), udang puyuh (padang), dan lain-lain.

Menurut Moosa dan Aswandy (1984), morfologi dari lobster yaitu terdiri dari kepala dan thorax yang tertutup oleh karapas dan memiliki abdomen  yang terdiri dari enam segmen. Karakteristik yang paling mudah untuk mengenali lobster adalah adanya capit (chelae) besar yang pinggirnya bergerigi tajam yang dimiliki lobster untuk menyobek dan juga menghancurkan makanannya.

Udang karang mudah dikenal karena bentuknya yang besar dibanding dengan udang lainnya. Morfologi dari udang karang atau lobster yaitu mempunyai bentuk badan memanjang, silindris, kepala besar ditutupi oleh carapace berbentuk silindris, keras, tebal dan bergerigi. Mempunyai antenna besar dan panjang menyerupai cambuk, dengan rostum kecil.

Lobster secara umum memiliki tubuh yang berkulit sangat keras dan tebal, terutama di bagian kepala, yang ditutupi oleh duri-duri besar dan kecil. Mata lobster agak tersembunyi di bawah cangkang ruas abdomen yang ujungnya berduri tajam dan kuat. Lobster memiliki dua pasang antena, yang pertama kecil dan ujungnya bercabang dua disebut juga sebagai kumis.

Antena kedua sangat keras dan panjang dengan pangkal antena besar kokoh dan ditutupi duri-duri tajam, sedangkan ekornya melebar seperti kipas. Warna lobster bervariasi tergantung jenisnya, pola-pola duri di kepala, dan warna lobster biasanya dapat dijadikan tanda spesifik jenis lobster. Menurut Subani (1984), udang karang atau lobster memiliki ciri-ciri yaitu badan besar dan dilindungi kulit keras yang berzat kapur, mempunyai duri-duri keras dan tajam, terutama dibagian atas kepala dan antena atau sungut, bagian belakang badannya (abdomen) dan lembaran ekornya.

Pasangan kaki jalan tidak mempunyai chela atau capit, kecuali pasangan kaki lima pada betina. Pertumbuhan udang karang sendiri selalu terjadi pergantian kulit atau molting, udang karang memiliki warna yang bermacam-macam yaitu ungu, hijau, merah, dan abu-abu serta membentuk pola yang indah. Memiliki antena yang tumbuh dengan baik, terutama antena kedua yang melebihi panjang tubuhnya.
Habitat
Lobster atau udang barong memiliki dua fase dalam siklus hidupnya, yaitu fase pantai dan fase lautan. Lobster akan memijah di dasar perairan laut yang berpasir dan berbatu. Telur yang dibuahi akan menetas menjadi larva yang kemudian bersifat planktonis, melayang-layang dalam air. Larva yang disebut phylosoma ini memerlukan waktu sekitar tujuh bulan untuk menjadi lobster kecil/muda. Habitat alami lobster adalah kawasan terumbu karang di perairan-perairan yang dangkal hingga 100 m di bawah permukaan laut.

Di Indonesia, terdapat perairan karang yang merupakan habitat lobster seluas 6700 km2 dan merupakan perairan karang terluas di dunia. Lobster berdiam di dalam lubang-lubang karang atau menempel pada dinding karang. Aktivitas organisme ini relatif rendah. Lobster yang masih muda biasanya hidup di perairan karang di pantai dengan kedalaman 0,5-30 m.

Habitat yang paling disukai adalah perairan dengan dasar pasir yang ditumbuhi rumput laut (seagrass). Menurut Chan (1998), bahwa habitat udang karang (lobster) pada umumnya adalah di perairan pantai yang banyak terdapat bebatuan atau terumbu karang. Terumbu karang ini disamping sebagai barrier (pelindung) dari ombak, juga tempat bersembunyi dari predator serta berfungsi pula sebagai daerah pencari makan. Akibatnya daerah pantai berterumbu ini juga menjadi daerah penangkapan lobster bagi para nelayan.

Hal ini dapat dilihat dari cara nelayan mengoperasikan alat tangkap (bintur) di daerah bebatuan di pantai. Setelah menginjak dewasa, lobster akan bergerak ke perairan yang lebih dalam, dengan kedalaman antara 7-40 m. Perpindahan ini biasanya berlangsung pada siang dan sore hari.

Reproduksi dan Daur Hidup
Menurut Subani (1978), sistem pembuahan lobster terjadi di luar badan induknya (external fertilization). Indung telur nya berupa sepasang kantong memanjang terletak mulai dari belakang perut (stomach) di bawah jantung (pericarduim) yang dihubungkan keluar oleh suatu pipa peneluran (oviduct) dan bermuara di dasar kaki jalannya yang ketiga.

Menurut Moosa dan Aswandy (1984), ukuran panjang total lobster jantan dewasa kurang lebih 20 cm, dan betina kurang lebih 16 cm, sedangkan umur pertama kali matang gonad yaitu ditaksir antara 5–8 tahun. Pada waktu pemijahan lobster mengeluarkan sperma (spermatoforik) dan meletakkannya di bagian dada (sternum) betina mulai dari belakang celah genital (muara oviduct) sampai ujung belakang sternum.

Peletakan spermatoforik ini terjadi sebelum beberapa saat peneluran terjadi. Masa spermatoforik yang baru saja dikeluarkan sifatnya lunak, jernih dan kemudian agak mengeras dan warna agak menghitam dan membentuk selaput pembungkus bagian luar atau semacam kantong sperma. Pembuahan terjadi setelah telur-telur dikeluarkan dan ditarik kearah abdomen yaitu dengan cara merobek selaput pembungkus oleh betina dengan menggunakan cakar (kuku) yang berupa capit terdapat pada ujung pasangan kaki jalannya.

Lobster yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara meletakkan atau menempelkan dibagian bawah dada (abdomen) sampai telur tersebut dibuahi dan menetas menjadi larva atau biasa disebut burayak atau tumpayak (Moosa dan Aswandy, 1984). Menurut Hasrun (1996), lobster betina kadang-kadang dapat membawa telur antara 10.000 -100.000 butir, sedangkan pada jenis-jenis yang besar bisa mencapai 500.000 hingga jutaan telur. Banyak sedikitnya jumlah telur tergantung dari ukuran lobster air laut tersebut. Menurut Prisdiminggo (2002), lobster mempunyai periode pemijahan yang panjang puncaknya pada bulan November sampai Desember. Setiap individu hanya sekali memijah setahun. Tetapi pada musim perkembangbiakan, lobster dapat melakukannya lebih dari satu kali pemijahan.
Gambar 2. Siklus Hidup Lobster (Panulirus spp.) (Sumber: Factor, 1995)

Kualitas Air
Menurut Effendi (2003), suhu dan salinitas memainkan peranan yang penting dalam kehidupan organisme laut dan estuaria. Suhu sangat berperan dalam mempercepat metabolisme dan kegiatan organ lainnya. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan terjadinya pengeringan sel. Keasaman air yang lebih dikenal dengan pH (Paissanee negatif de H) juga sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan ikan.

Keasaman dihitung berdasarkan logaritma negatif dari ion-ion hidrogen per liter air. Keasaman (pH) yang terlalu tinggi atau rendah akan meracuni ikan dan hewan lainnya. Derajat keasaman suatu perairan menunjukan tinggi rendahnya konsentrasi ion hodrogen perairan tersebut. Kisaran parameter kualitas air untuk pemeliharaan lobster secara lengkap, disajikan pada tabel berikut :

Tabel 1. Parameter Kualitas Air

No.
Parameter
Kisaran Nilai
Referensi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Suhu (oC)
Salinitas (‰)
DO (ppm)
pH
Kedalaman (m)
Amoniak (ppm)
11–29
25-45
>5
7,8-8,5
11-15
 < 0.1
(Cobb and Phillips, 1980)
(Kanna, 2006)
(Kanna, 2006)
(Effendi, 2003)
(Cobb and Phillips, 1980)
(Kanna, 2006)

Menurut Phillips and Kittaka (2000), pertumbuhan tercepat pada juvenil Panulirus homarus dapat dicapai pada suhu sebesar 28 ºC, dengan panjang karapaks yang dicapai sebesar 60 mm dalam waktu 18 bulan. Beberapa jenis lobster mempunyai toleransi suhu yang berbeda-beda untuk tumbuh pada kondisi optimum, seperti Panulirus argus tumbuh optimum pada suhu berkisar 25-27 ºC, Panulirus ornatus (30 ºC), Panulirus cygnus (25-26 ºC), dan Panulirus Interruptus (28 ºC). Menurut Boyd and Tucker (1998), konsentrasi oksigen terlarut yang disarankan untuk kegiatan perikanan adalah > 5 mg/L.

Menurut Mackereth et al. (1989), nilai pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas, dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas, demikian juga sebaliknya. Menurut Boyd dan Tucker (1998), nilai pH yang disarankan untuk kegiatan akuakultur berkisar antara 6,5-9, sedangkan pH yang optimum untuk biota laut berkisar antara 7,5-8,5. Krustasea pada perairan payau umumnya mempunyai nilai toleransi pH yang lebih luas. Penelitian pada udang panaeid menunjukkan pH yang optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 5,5-8,5. Menurut Wickins and Lee (2002), nilai pH yang disarankan untuk lobster clawed dan lobster spinny masing-masing sebesar 7,8-8,2 dan 8,0-8,5.

Menurut Phillips dan Kittaka (2000), juvenil lobster P. polyphagus dan P. Cygnus mempunyai toleransi rentang salinitas yang cukup luas, yaitu masing-masing sebesar 17-50 dan 25-45 ppt. Kondisi salinitas optimal pada lobster spinny dilaporkan pada kisaran 32-36 ppt (Wickins dan Lee 2002). Kandungan CO2 bebas sekitar 12 mg/L dapat menyebabkan stres pada ikan, sedangkan pada konsentrasi 30 mg/L menyebabkan beberapa jenis ikan mengalami kematian. Penelitian lain menunjukkan, konsentrasi CO2 yang disarankan untuk budidaya lobster air tawar adalah < 5 mg/l. Menurut Drengstig dan Bergheim (2013), kandungan nitrit yang disarankan pada budidaya lobster Homarus gammarus menggunakan sistem resirkulasi adalah < 5 mg/l. Penelitian lain menunjukkan, juvenil P. monodon mempunyai toleransi nitrit pada konsentrasi sebesar 3,8 mg/L dengan salinitas 20 ppt (Boyd and Tucker, 1998). Pada budidaya lobster menggunakan sistem resirkulasi (Phillips dan Kittaka 2000) dan budidaya lobster spinny (Wickins dan Lee 2002), konsentrasi nitrat yang disarankan, sebaiknya kurang dari 100 mg/L. Menurut Boyd dan Tucker (1998), nitrifikasi adalah oksidasi berurutan amonia menjadi nitrat yang dilakukan oleh dua kelompok bakteri kemoautotrof dalam kondisi aerobik

Referensi:

  1. Aisyah, B, dan Triharyuni, S. 2009. Lobster Seed Resources in the South Coast of Yogyakarta. AARD. MMAF. 25p.
  2. Boyd, C.E., and Tucker, C.S. 1998. Pond Aquaculture Water Quality Management. New York (US): Springer Science+Business Media.
  3. Chan, T. Y. 1998. Shrimps and Prawns. Dalam : Carpenter KE, VH Niem. (Ed.). The Living Marine Resources of the Western Central Pacific. Vol. 2. Cephalopods, Crustaceans, Holothurians and Sharks. Food and Agriculture Organization of the United Nations Rome. Kanna, Iskandar. 2006. Lobster. Kanisius. Yogyakarta.
  4. Cobbs and Philips, 1980. The Biology and Management of Lobster. Vol. I. Physiology and Behaviour. Chapter 7. Spiny Lobster. Pattern of Movement. 349-407 pp.
  5. Drengstig, A., and Bergheim, A. 2013. Commercial Land-Based Farming of European lobster (Homarus gammarus L.) in Recirculating Aquaculture System (RAS) Using a Single Cage Approach. Journal of Aquacultural Engineering 53: 14-18.
  6. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
  7. Factor, J.R. 1995. Biology of the Lobster Homarus americanus. Academic Press, 545p.
  8. Hasrun, 1996. Kajian Beberapa Parameter Populasi Udang Karang (Panulirus homarus L) Berdasarkan Hasil Tangkapan Jaring Insang Dasar di Perairan Pangandaran Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
  9. Kanna, Iskandar. 2006. Lobster. Kanisius. Yogyakarta.
  10. Moosa, M.K. dan I. Aswandy. 1984. Udang Karang (Panulirus spp.) dari Perairan Indonesia. LON LIPI. Jakarta.
  11. Phillips, B.F., and Kittaka, J. 2000. Spinny Lobster:Fisheries and Culture. Osney Mead (GB): Blackwell Science.
  12. Prisdiminggo, Mashur, M. Nazam, L. Wirajaswadi. 2002. Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Lobster (Panulirus sp.) dalam Karamba Jaring Apung (KJA) di Teluk Ekas, Lombok Timur.
  13. Setyono, D.E.D. 2006. Budidaya Pembesaran Udang Karang (Panulirus spp.). Oseana. 31(4): 39-48.
  14. Subani, W. 1984. Studi Mengenai Pergantian Kulit Udang Barong (Spiny Lobster, Panulirus spp) Kaitannya dengan Hasil Tangkapan. Laporan Penelitian Perikanan Laut.
  15. Subani, W. 1987. Perikanan Udang Barong (Spiny Lobster) dan Prospek Masa Depannya. Bulletin Penelitian Perikanan Volume I (3). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta.
  16. Wickins, J.F., and Lee, D.O.C. 2002. Crustacean Farming Ranching and Culture. Blackwell Science Ltd.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama