Laut Indonesia dengan wilayah lautan seluas 5,8 juta km2 atau 3/4 dari total wilayah Indonesia merupakan lautan dan sekitar 17.506 pulau yang dikelilingi oleh 81.000 km garis pantai dan posisi geopolitis, memiliki arti yang penting bagi bangsa Indonesia, terutama terhadap orientasi pembangunan yang akan dijalankan (Mudzakir, 2011). Menurut Dahuri (2002) ada beberapa alasan yang mendasari untuk lebih memperkuat pembangunan berbasis sumberdaya perikanan dan kelautan yang dijadikan sebagai arus utama pembangunan nasional, baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Perairan
Indonesia sudah sejak tiga abad yang lalu mendapat perhatian dari ilmuwan
internasional. Hal ini tercermin dengan banyaknya ekspedisi bahari yang juga
menjelajahi perairan Indonesia. Sasaran penelitian para ahli meliputi bidang
penelitian biologi, geologi, fisika dan kimia oseanografi perairan Indonesia.
Namun sayangnya semua hasil ekspedisi pada waktu itu dibawa ke negeri asal
pelaksana ekspedisi untuk diolah dan dimiliki. Hal ini disebabkan belum ada
tempat untuk keperluan semacam itu. Kita mungkin juga belum menyadari akan
perlunya pemilikan contoh flora dan fauna ataupun contoh batuan yang ada di
Indonesia (Soegiarto, 1987). Pada saat itu, laut telah menjadi media hubungan
nasional dan internasional, serta menjadi suatu kawasan penting, baik secara
politik, ekonomi dan militer. Bahkan, sampai sekarang masih terlihat sisa-sisa
budaya berbasis bahari ini pada beberapa suku laut yang berdiam disekitar
pesisir Indonesia.
Perikanan
Dunia dan Indonesia
Salah
satu sejarah perdagangan dunia yang tertua yaitu perdagangan ikan cod kering
dari daerah Lofoten ke bagian selatan Eropa, Italia, Spanyol dan Portugal.
Perdagangan ikan ini dimulai pada periode Viking atau sebelumnya, yang telah
berlangsung lebih dari 1000 tahun, namun masih merupakan jenis perdagangan yang
penting hingga sekarang. Di India, Pandyas, kerajaan Tamil Dravidian tertua,
dikenal dengan tempat perikanan mutiara diambil sejak satu abad sebelum masehi.
Pelabuhan Tuticorin dikenal dengan perikanan mutiara laut dalam. Paravas,
bangsa Tamil yang berpusat di Tuticorin, berkembang menjadi masyarakat yang
makmur oleh karena perdagangan mutiara mereka, pengetahuan ilmu pelayaran dan
perikanan.
Pada
abad permulaan Masehi, hubungan pelayaran mulai berperan dalam melintas laut.
Pada Abad 5 telah terjalin hubungan dengan pedagang- pedagang Arab dan Cina.
Sekitar abad 8 terdapat relief didinding Candi Borobudur yang menggambarkan
bentuk perahu layar yang cukup maju bertiang ganda. Pada abad 13 dalam buku
Kutaramenwa tertulis undang-undang tentang siwakan (pengelolaan air) yang
diduga merupakan awal dimulainya pertambakan di Jawa Timur. Indonesia merupakan
negara kepulauan dengan posisi silangnya yang sangat strategis. Terletak di
antara dua benua dan dua samudra. Luas kepulauan Indonesia adalah 9,8 juta km2
(seluruh wilayah Indonesia), dan luas wilayah lautnya 7,9 juta km2.
Posisi silang yang strategis menyebabkan Indonesia mempunyai peranan penting
dalam lalu lintas laut.
Laut
Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut
dan Lingkungan Maritim yang menetapkan laut teritorial hanya selebar 3 mil,
yang merupakan hukum laut warisan Hindia Belanda. Lebar 3 mil ini merupakan
gambaran dari pandangan yang berlaku tentang lebar laut teritorial kala itu sebagai
kebiasaan internasional sebelum adanya konferensi Kodifikasi Den Haag tahun
1939. Pada tanggal 13 Des 1957 Pemerintah Indonesia mengumumkan Lebar laut
teritorial sebesar 12 mil atau lebih dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda.
Deklarasi Djuanda ini telah menjadi dasar lahirnya Wawasan Nusantara, dan ini
merupakan upaya melindungi kawasan laut kita. Pada tanggal 10 Desember 1982
Konfrensi Hukum Laut PBB III (Unclos, 1982) yang ditandatangi oleh 119 negara.
Berdasarkan kesepakatan tersebut wilayah perairan Indonesia meliputi batas laut
teritorial, batas landas kontinen, dan batas zona ekonomi eksklusif (Kunindar,
2012).
Perikanan Indonesia pada 1800an-Pertengahan 1900an mengalami
pasang-surut. Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai
maju-mundurnya peran ekonomi wilayah ini. Di Jawa misalnya, Houben membagi
menjadi tiga periode yaitu :
1) Periode
1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir ke pedalaman
atau dari perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya kekuasaan
Mataram;
2) Periode
1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang. Belanda memanfaatkan
momen ini melalui serial kerjasama pengembangan pertanian tanaman ekspor dengan
para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757 Belanda telah menguasai daerah
pedalaman.
3) Periode
1830-1870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode ini ditandai
dengan diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830.
Ikan
sudah menjadi sumber protein utama bagi manusia sejak zaman purba, namun
demikian kajian terhadap biologi dan taksonomi ikan belumlah terlalu lama
dimulai. Diperkirakan kajian tentang
Iktiologi baru dimulai pada awal Abad ke-18, pada mulanya kajian Iktiologi
lebih difaokuskan pada bidang Taksonomi dan Distribusi pada beberapa spesies,
kemudian berkembang lebih luas pada Abab ke-20. Tulisan modern pertama tentang
ikan ditulis oleh Block yang meneliti tentang “Auslaniche Fishes” yang dipublikasikan pada tahun 1785. Sejak Abad 20, penelitian tentang iktiologi
mulai berkembang pesat dan telah terbagi menjadi beberapa bidang kajian, yaitu:
(a) taxonomi dan distribusi, (b) anatomy,
(c) fisiologi dan biokimia, (d) evolusi dan genetik, (e) penyakit, (f) struktur
dan dinamika populasi dan (g) konservasi. Secara ringkas sejarah kajian
iktiologi (Muchlisin, 2014) dapat disarikan sebagai berikut:
a)
Aristoteles (384-322 SM): mendeskripsikan
lebih kurang 115 species ikan. Aristoteles dalam kajiannya pertamakali
mengemukakan metode untuk membedakan perbedaan jenis kelamin pada ikan hiu
dengan menggunakan perbedaan struktur sirip perutnya.
- Pierre Belon (1517-1564): mendeskripsikan 110 species ikan berdasarkan ciri-ciri anatomi.
- H. Salviani (1514-1572): 92 species ikan
- G. Rondelet (1507-1557): menulis buku pertama tentang ikan.
- Peter Artedi (1705-1735): membuat sistem klasifikasi ikan yang diberi judul Father of Ichthyology.
- Carolus Linnaeus: berhasil membuat Systema Naturae dengan mengadopsi system klasifikasi Artedi dan menjadi dasar dari keseluruhan sistem klasifikasi ikan. Banyak nama-nama ikan dideskripsi dan diberi nama oleh Linnaeus, sehingga namanya ikut ditabalkan pada akhir nama ikan bersangkutan.
- Berg (1940): membuat klasifikasi ikan (Classification of Fish) yang menjadi standar dalam pengklasifikasian ikan hingga sekarang.
Aquaculture di Indonesia
Akuakultur
sendiri memiliki sejarah dan perkembangannya. Menurut naskah Cina kuno dari
abad ke-5 SM menunjukkan bahwa budidaya telah dilakukan di Cina. Meskipun bukan
sesuatu yang sangat mendatangkan keuntungan. Hieroglif Mesir menunjukkan Mesir
dari Kerajaan Tengah (2052-1786 SM) berusaha membudidaya ikan secara intensif.
Mengikuti jejak Mesir, Roma juga mengembangkan praktek akuakultur. Mereka
diketahui telah membudidayakan kerang Oysters.
Budidaya ikan dalam bentuk modern pertama kali diperkenalkan pada tahun 1733
ketika seorang petani Jerman berhasil mengumpulkan telur ikan, dibuahi, dan
kemudian tumbuh dan memelihara ikan yang menetas.
Masyarakat
pribumi Gunditjmara di Australia kemungkinan telah memelihara belut pada 6000
tahun SM. Terdapat bukti bahwa mereka telah merubah dataran seluas 100 km2
di dekat danau Condah menjadi sekumpulan selat dan bendungan menggunakan
anyaman yang digunakan sebagai jebakan ikan dan menjaga populasi belut agar
dapat dimakan sepanjang tahun (Salleh, 2003; dan Wikipedia, 2014). Akuakultur
di China telah beroperasi sejak 2500 tahun SM (FAO, 2003). Pasca peluapan
musiman sungai, beberapa jenis ikan, umumnya ikan mas terperangkap di kolam.
Pembudidaya memberi makan ikan-ikan tersebut dengan larva dan kotoran ulat
sutra. Seleksi telah menciptakan ikan koi dan ikan hias lainnya sejak Dinasti
Tang.
Bangsa
Romawi telah membudidayakan ikan di kolam (McCann, 1979). Di Eropa tengah,
berbagai biara umat kristiani mengadopsi praktek akuakultur bangsa Romawi (Jhingran
et al., 1987). Akuakultur di Eropa
menyebar pada Abad Pertengahan karena ikan dan produk ikan harus diasinkan
supaya awet sebelum didistribusikan ke tempat yang jauh dari perairan dan
ketika itu transportasi cukup mahal. Di Amerika Serikat, pengembangan ikan
spesies Salvelinus fontinalis dimulai
pada tahun 1859 dan perbenihan ikan komersial dimulai pada tahun 1864 (Milner,
1874). Warga California memanen kelp pada tahun 1900 dan berusaha untuk menjaga
suplainya agar tetap lestari. Kelp yang dipanen disuplai untuk Perang Dunia I (Neushul,
1989).
Pada
abad 21 ini Food and Agriculture
Organization (FAO) menyatakan bahwa Perikanan Budidaya (Akuakultur) menjadi
salah satu sektor andalan untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani dan
penciptaan lapangan kerja. Data
statistik FAO tahun 2008 menunjukkan bahwa produksi akuakultur sudah mencapai
47% dari total produksi perikanan dunia, bahkan pada tahun 2030 diperkirakan
lebih dari setengah ikan yang dikonsumsi oleh manusia di dunia akan disediakan
oleh industri akuakultur. FAO juga menyatakan bahwa sebagai sumber protein
hewani yang bernutrisi tinggi, akuakultur telah memiliki peran yang sangat
penting dalam memperbaiki keamanan pangan, meningkatkan standar nutrisi, dan
mengentaskan kemiskinan. Indonesia memiliki potensi SDA di bidang perikanan
budidaya yang besar yang merupakan keunggulan komparitif dibanding negara
lainnya. Selain itu, sebagai negara tropis yang dapat berproduksi sepanjang
tahun, Indonesia juga memiliki ribuan jenis biota akuatik berupa ikan, udang,
kerang, rumput laut dan sebagainya dengan karakter masing-masing yang
khas. Karakteristik produk kegiatan
akuakultur dapat berupa ikan konsumsi, bahan baku industri, dan ikan hias (ornamental fishes).
Akuakultur
di Indonesia memiliki beberapa komoditas unggulan seperti rumput laut, kerang
mutiara, abalone dan lain sebagainya. Istilah rumput laut sudah lazim dikenal
dalam dunia perdagangan. Istilah ini merupakan terjemahan dari kata “seaweed”. Rumput laut sudah dikenal dan
dimanfaatkan oleh manusia sejak zaman kekaisaran Shen Nung sekitar tahun 2700
sebelum masehi. Rumput laut pada masa itu dimanfaatkan sebagai obat-obatan dan
bahan makanan oleh masyarakat timur. Kemudian tahun 65 sebelum masehi rumput
laut dimanfaatkan sebagai bahan untuk alat-alat kecantikan pada masa kekaisaran
Romawi. Rumput laut digunakan sebagai pupuk sejak abad ke 4 kemudian digunakan
secara besar-besaran setelah abad ke 12 oleh Perancis, Irlandia dan Skotlandia.
Secara ekonomis, rumput laut baru dimanfaatkan sekitar tahun 1670 di Cina.
Pemanfaatan rumput laut di Indonesia pertama kali di ketahui oleh orang-orang
Eropa pada tahun 1292 yang melayari perairan Indonesia, mereka mencatat bahwa
penduduk yang mendiami pulau-pulau di nusantara telah mengumpulkan alga laut
sejak berabad-abad lamanya untuk sayuran, namun penggunaanya masih sedikit dan
terbatas pada keluarga nelayan saja. Secara resmi pengembangan budidaya rumput
laut di Indonesia mulai dirintis sejak tahun 1980-an guna merangsang terjadinya
pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir. (Aslan, 1998).
Kelautan
di Indonesia
Di
Indonesia sendiri terdapat beberapa lembaga penelitian dan perguruan-perguruan
tinggi dalam bidang kelautan. Salah satu lembaga penelitian kelautan yang
tertua di Indonesia adalah Lembaga Oseanologi Nasional, yang berada di bawah
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (disingkat menjadi LON-LIPI) yang kini telah
berubah namanya menjadi Pusat Penelitian Oseanografi. Cikal bakal dari lembaga
penelitian ini dulu bernama Zoologish Museum en Laboratorium te Buitenzorg yang
didirikan pada tahun 1905. Penelitian oseanografi di Indonesia pertama kali
dilakukan tahun 1904 oleh Koningsbenser, ketika mendirikan laboratorium
Perikanan di Jakarta. Lab ini tahun 1919 di ubah menjadi Lab. Biologi Laut, dan
akhirnya sejak tahun 1970 menjadi Lembaga Oseanologi Nasional.
Perkembangan
Penelitian Perikanan dan Kelautan di Indonesia
Lautan
Indonesia yang luas dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, telah
menarik perhatian para ahli sejak tiga abad yang lalu. Dalam artikelnya yang
berjudul "Zee-onderzoek in de
Indonesische wateren" di dalam buku peringatan satu abad Koninklijke
Natuurkundig Vereniging (1850 - 1950), Hardenberg (1950) membagi penelitian
laut di Indonesia dalam tiga periode, yaitu:
1.
Sekitar 1600 sampai kira-kira 1850
2.
1850 sampai 1905
3.
Sesudah l905.
Periode
pertama oleh Hardenberg disebut periode pengumpulan spesimen. Kegiatan ini
masih diwarnai oleh rasa "kesenangan" atau "amatiran",
karena belum didasari oleh pengetahuan dan tujuan ilmiah yang terarah dan
terorganisasikan. Sebagai contoh di-kemukakan bahwa Rumphius dan orang-orang
Belanda pada waktu itu senang melakukan koleksi cangkang moluska, jenis-jenis
ikan tertentu, dan hasil laut lainnya.
Georgius
Everhardus Rumphius yang dijuluki "The
Blind Seer of Amboina" (Sirk, 1945) dapat dikatakan sebagai orang
pertama yang memulai penelitian biologi laut di Indonesia. Itupun ia lakukan
atas prakarasa sendiri dengan menghabiskan sisa hidupnya di Ambon untuk
mencurahkan segala perhatiannya kepada kekayaan alam Maluku. Pada tahun 1662 ia
mulai mengadakan pengamatan secara teratur terhadap flora dan fauna Ambon dan
sekitarnya, termasuk biota laut. Hasil karyanya diterbitkan dalam bentuk buku
berjudul "D'Amboinsch Rariteitkamer"
(Rumphius, 1741). Tahun 1850 mulailah periode baru bagi pengetahuan laut
Indonesia. Pada tahun itu Pieter Bleeker mendirikan dan sekaligus menjadi Ketua
Koninklijke Natuurkundig Vereniging.
Dia memulai koleksi secara sistematis dan membuat pertelaan fauna ikan darat
dan laut Indonesia. Karyanya diterbitkan dalam sembilan jilid "Atlas Ichtyologique".
Dari
waktu ke waktu penelitian tentang kelautan di Indonesia terus dikembangkan baik
untuk penelitian skala nasional maupun partisipati dalam penelitian skala
internasional. Perkembangan oseanografi di indonesia tersebut dapat dirinci pada
penjelasan di bawah ini:
a) The
British Challenger Expedition (1872-1876): Hasil dari ekspedisi ini telah
dibukukan dalam 50 jilid besar dan dianggap sebagai penemu ilmu pengetahuan
kelautan modern.
b) Ekspedisi
Sibolga dari Belanda (1899-1900): sangat membantu pengembangan pengetahuan
hayati kelautan di Indonesia, Peta batimetri Indonesia pertama yang dibuat oleh
Tyderman (1903) didasarkan pada data dari Ekspedisi Sibolga Pada tahun 1919,
Laboratorium Penelitan Kelautan (Laboratorium
Voor Het Onderzoek der Zee) didirikan.
c) Ekspedisi
Snellius (1929-1930): menguraikan dan mengungkapkan geologi kelautan dan
oseanografi fisik.
d) Pada
Tahun 1952: orang-orang Denmark dengan Ekspedisi "Galathea" juga
mengunjungi Indonesia. Ekspedisi ini mempelajari aspek-aspek biologis laut
dalam di Indonesia. Veen (1953): pembuatan peta distribusi salinitas di
perairan laut di Indonesia Wyrtki (1957): menemukan gejala naiknya air di Laut
Banda Awal thn 1960 merupakan era baru bagi penelitian laut di Indonesia yang
aktivitasnya baru dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan dalam negeri. Kemudian Tiga
badan nasional diberi tugas untuk mengadakan aktivitas dalam penelitian lautan,
berikut:
Pertama,
adalah pengganti dari Marine Research Laboratory yang saat ini dikenal dengan
nama Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (P30-LIPI) di Jakarta.
Fungsi-fungsi utama P30-LIPI adalah :
a) Melakukan
penelitian kelautan tentang keadaan fisik, kimia, biologi, dan aspek-aspek
tentang pembentukan permukaan tanah laut.
b) Mengkoordinasikan
pengumpulan data.
c) Memberikan
saran-saran ilmiah kepada Badan-badan Nasional dan masyarakat tentang
masalah-masalah ilmiah yang berhubungan dengan lautan.
Kedua,
adalah Lembaga Penelitian Perikanan Laut (LPPL) yang saat ini dikenal dengan
nama Balai Penelitian Perikanan Laut (Balit Kanlut) yang mempunyai fungsi
pekerjaan yang sama seperti halnya yang dilakukan oleh P30-LIPI, namun lebih
memusatkan kepada aspekaspek perikanan laut.
Ketiga,
adalah badan yang bernama DISHIDROS (Dinas Hidro-Oseanografi) yang juga
mempunyai fungsi yang sama dengan kedua badan yang telah disebutkan diatas
tetapi mempunyai tugas yang khusus yaitu menangani Hidrografi laut seperti
kedalaman laut, pemetaan mengenai arus dan pasang surut. Indonesia memiliki
Kapal Penelitian “Jalanidhi" (1963) dan "Burudjulasad" (1966),
sehingga dapat lebih menggiatkan aktivitas penelitian di bidang kelautan, baik
nasional maupun yang bekerjasama dengan dunia internasional, sebagai berikut:
a) Ekspedisi
Baruna I (1964), merupakan Ekspedisi Ilmiah tentang lautan yang pertama di
Indonesia dilakukan oleh ilmuwan dalam negeri,
b) Ekspedisi
Baruna II (1966) dan Ekspedisi Cenderawasih (1967),
c) Tahun
1970-1980, Ekspedisi Lautan India Internasional (IIOE), Ekspedisi tentang
kerjasama mempelajari daerah Kuroshio dan sekitarnya (CSK), Koordinasi Komite
dari (WESTPAC) Southeast Asia Tectonic and Resources (SEATAR), Operasi Amindo
Jaya di Selat Makasar antara Republik Indonesia dan Amerika, Ekspedisi Corindon
(RI - Perancis), dan Ekspedisi Snellius II di Perairan Indonesia Timur (RI -
Belanda),
d) Ekspedisi
Rumphius I, II, dan III. untuk mengadakan penelitian biosistematika.
Ada
beberapa Kegiatan perikanan dan Kelautan pada tahun 1980-sekarang antara lain
adalah sebagai berikut:
a) East Asian Seas Action Plan
(Rencana Aksi Laut Asia Timur) yang dilaksanakan oleh UNEP-COBSEA (Badan
Koordinasi mengenai Laut di Asia Timur).
b) South
China Sea Forum (Forum Laut Cina Selatan) yang merupakan forum pemerintah di
sekeliling laut Cina Selatan yang dikoordinasikan oleh Indonesia.
c) ASEAN
Marine Science Programs (Program-program ilmiah kelautan ASEAN).
d) ASEAN-Australia
Regional Living Coastal Resources Program (1985-1994) (Program
Sumber-sumberdaya Kehidupan Pesisir ASEAN-Australia).
e) ASEAN-Australia
Regional Ocean Dynamics (1985-1995), (Kegiatan laut wilayah ASEAN-Australia).
f) ASEAN-USA
Coastal Resources Management Project (1986-1993), (Proyek Pengelolaan
Sumberdaya Laut ASEAN - Amerika).
g) ASEAN-Canada
Marine Polution Criteria (1987 - 1997), (Kriteria pencemaran Laut
ASEAN-Canada).
h) ASEAN-ROK
Industrial Use of Marine Biological Resources (1994-1997), (Penggunaan
Sumberdaya Biologi Kelautan dalam Industri ASEAN - ROK).
i) ASEAN-JAPAN
Management of Multispacies Resources And Multigear Fisheries.
j) GEF/UNDP/IMO
Regional Program for The Prevention and Management of Marine Pollution in The
East Asian Seas, (Program Regional untuk Pencegahan dan Pengelolaan Pencemaran
Laut di laut-laut di Asia Timur GEF/UNDP/IMO).
Pada
tanggal 1 Januari 1914 terjadi perubahan penting yang menentukan arah dan jenis
penelitian yang ditugaskan kepada Visscherij Station. Berdasarkan SK Gubernur
Jenderal Hindia Belanda No. 57 tertanggal 7 Maret 1914 (St. 1914 No. 262) di
lingkungan Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel dibentuk Afdeeling
Visscherij (selanjutnya disingkat AV). Ketentuan tersebut berlaku mulai 1
Januari 1914 (Soegiarto, 1987).
Untuk
menghindari kegandaan kegiatan, maka dibuat pembagian tugas dan kewajiban
antara V.S. dan A.V. Pembagian tugas dan kewajiban ini dapat dilihat dalam
Encylopaedia van Nederlandsch-Indie (1922) dan tulisan Sunier (1914).
Visscherij Station yang merupakan bagian dari Zoologisch Museum en Laboratorium te Buitenzorg di bawah naungan 'sLands Plantentuin bertugas melakukan
penelitian dasar ilmu kelautan, tidak lagi membidangi hal-hal yang berkaitan
dengan perikanan terapan. Sedangkan Afdeeling
Viss- cherij yang berdiri langsung di bawah Dept. Landb. Nijv. Handel bergerak dalam bidang penelitian biologi
fauna yang berkaitan dengan kepentingan perikanan serta segi-segi ekonomi
perikanan dan budidaya ikan.
Referensi:
Aslan, LM. 1998. Rumput Laut. Yogyakarta:
Kanisius
Dahuri, R. 2002. Wawancara Prof. Dr. H.
Rochmin Dahuri pada Tokoh Indonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia). www.TokohIndonesia.com
(22 Desember 2004). Dalam : Mudzakir,
AK. 2011. Kajian Yuridis Dan Sejarah Terhadap Pengelolaan Pungutan Perikanan di
Zeei.
Encyclopaedie Van Nederlandsch-Indie.
1921. 4 De Deel, 2 De Druk, Leiden, E.J. Brill, p. 573, 575.
FAO. 2003. 2. Milestones in Aquaculture
Development. Dalam: http://www.fao.org/docrep/field/009/ag158e/AG158E02.htm (Diakses: 28
Desember 2014).
Hardenberg, J.D.F. 1950. Zee Onderzoek in
De Indonesisch Wateren. Onderdruk uit Chronica Naturae 106 : 6 (Gedenkboek KNV
1850 -1950, p. 187 -192). Bandung, Vorkink.
Jhingran, V.G., 1987. Introduction to Aquaculture.
United Nations Development Programme, Food and Agriculture Organization of the
United Nations, Nigerian Institute for Oceanography and Marine Research.
Kunindar, S. 2012. Sejarah Perkembangan
Kelautan dan Perikanan di Indonesia. Dalam: http://suryo‑kunindar.blogspot.com/2012/03/sejarah‑perkembangan-kelautan-dan.html
(Diakses: 28 Desember 2014).
McCann, Anna Marguerite. 1979. The Harbor
and Fishery Remains at Cosa, Italy, by Anna Marguerite McCann. Journal of Field
Archaeology 6 (4): 391–411. JSTOR 529424
Milner, James W. (1874). The Progress of
Fish-culture in the United States. United States Commission of Fish and
Fisheries Report of the Commissioner for 1872 and 1873. Pp: 535 – 544
Muchlisin, ZA. 2014. Peranan Ilmu
Iktiologi Dalam Pengembangan Budidaya dan Konservasi Sumberdaya Perikanan.
Disampaikan Pada Acara Penyampaian Visi dan Misi Kandidat Guru Besar
Universitas Syiah Kuala Darussalam – 5 Mei 2014.
Mudzakir, AK. 2011. Kajian Yuridis Dan
Sejarah Terhadap Pengelolaan Pungutan Perikanan di Zeei. Dalam: http://eprints.undip.ac.id/35265/1/Kohar‑KAJIAN_YURIDIS_DI_ZEEI.pdf
(Diakses: 28 Desember 2014).
Neushul, P. 1989. Seaweed for War:
California's World War I kelp Industry, Technology and Culture 30 (July 1989),
561-583.
Rumphius, G.E. 1741. D'Amboinsch
Rariteitkamer, Schaalvisschen, Hoorntjes En Schul-Pen, Meneraalen, Gesteenten.
Amsterdam, Jan Roman De Jonge.
Salleh, A. 2003. Aborigines May Have
Farmed Eels, Built Huts. Dalam: http://www.abc.net.au/science/news/stories/s806276.htm (Diakses: 28
Desember 2014).
Sirk, M.J. 1945. Rumphius, The Blind Seer
of Amboina. in P. Hoonig and F.
Ver-Doorn (Eds.) Science and
Scientists in The Netherlands Indies. New York, pp. 295-308.
Soegiarto, KA. 1987. Menelusuri
Tonggak-Tonggak Sejarah Puslitbang Oseanologi-LIPI. Oseana, XII(3): 1-52.
Sunier, A.L.J. 1914. De Beteekenis Van Het
Natuurwetenschappelijk Visscherij Onder-Zoek Voor Nederlandsch—Indie. Meded
V.H. Visscherij —Station Te Batavia. No. X.
Wikipedia. 2014. Budi Daya Perairan. Dalam: http://id.wikipedia.org/wiki/Budi_daya_perairan (Diakses: 28
Desember 2014).
Posting Komentar