Sekitar 2019 awal, saya mendapat kabar bahagia dari seorang kawan, bahwa proposal penelitian tesis magister saya telah lolos seleksi dikti. Saat itu pula, saya langsung menghubungi partner penelitian saya yang juga merupakan tim peneliti pada program tersebut. Partner penelitian saya bernama Aris Munandar yang lebih akrab di panggil Even, lelaki asal Bima Nusa Tenggara Barat dan juga merupakan teman kuliah saya di Program Pasca Sarjana Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB). Tim peneliti terdiri atas 2 dosen pembimbing yang satu sebagai ketua tim dan yang satunya lagi sebagai anggota peneliti 1 sedangkan kami berdua masing-masing sebagai anggota peneliti 2 dan 3.
Beberapa bulan kemudian setelah kami melengkapi kelengkapan administrasi dan perlengkapan penelitian, kami pun berangkat ke Lombok menggunakan pesawat terbang. Perjalanan dari Jakarta ke Lombok ditempuh sekitar 3 jam perjalanan. Setelah sampai di Bandara, kami pun berangkat ke lokasi penelitian yang terletak di Dusun Teluk Kodek Nusa Tenggara Barat. Lokasi penelitian tersebut tidak asing bagi kami karena waktu strata 1 saya juga penelitian di sana, sedangkan si Even yang merupakan alumni UNRAM juga pernah praktikum di sana. Selama di Lombok kami tinggal di kediaman bapak Ramli Marzuki yang akrab kami panggil Om Ramli, kerabat ayah saya dan juga merupakan teknisi senior di Balai Bioindustri Laut LIPI Mataram. Om Ramli merupakan orang yang sangat ramah dan mudah bergaul sehingga tak perlu waktu lama bagi si Even untuk lebih akrab dengan beliau. Selain om Ramli, kami juga sering berkunjung ke rumah Pak Balkam (Om Nyong) yang juga merupakan rekan kerja Om Ramli di BBIL LIPI Mataram.
Keesokan harinya kami pun menuju BBIL LIPI Mataram untuk bertemu pimpinan balai dan setelah itu kami pun melihat-lihat lokasi penelitian. Laboratorium penelitian yang kami gunakan agak berbeda dengan Lab yang saya gunakan pada saat S1. Hal ini dikarenakan gempa bumi Lombok pada 2018 yang merusak bangunanan-bangunan sekitar sehingga alternatif kami penelitian di Laboratorium Semi Permanen. Pada saat itu pula, proyek budidaya siput mata bulan sudah berhenti sehingga kami harus mencari induk siput mata bulan di alam.
Berfoto Sebelum Menyelam |
Pencarian induk siput mata bulan berlangsung beberapa minggu dengan kami dibantu beberapa teknisi BBIL LIPI Mataram melakukan penyelaman di beberapa lokasi habita siput mata bulan. Setelah cukup, kamipun melakukan rangsangan untuk memicu pemijahan induk siput mata bulan. Rangsangan pemijahan dilakukan pada siang hari dengan cara mekanik dan desikasi berdasarkan SOP yang dikembangkan. Kami pun melakukan pengamatan secara rutin dan pada malam harinya akhirnya siput tersebut memijah. Pemijahan terjadi dengan induk jantan mengeluarkan sperma terlebih dahulu yang berupa cairan bening dan kemudian disusul oleh induk betina yang mengeluarkan sel telur berwarna hijau. Setelah selesai memijah, kami pun menyaring telur yang telah terbuahi menggunakan saringan mikron dan menempatkannya pada wadah inkubasi berupa bak kontainer berkapasitas 60 liter. Wadah inkubasi tersebut berwarna putih serta dilengkapi blower untuk menyuplai oksigen dan mengaduk telur agar tetap melayang di perairan. Sekitar 12 jam inkubasi, telur tersebut mencapai stadia larva veliger yang aktif berenang di perairan. Setelah itu kami menyaring larva tersebut dan menebarkannya di wadah pemeliharaan larva.
Wadah pemeliharaan larva kami berupa bak kontainer namun pada umumnya wadah pemeliharaan larva siput mata bulan berupa bak beton yang dilengkapi sistem resirkulasi. Wadah pemeliharaan tersebut juga dilengkapi dengan aerasi dan beberapa plat yang telah ditumbuhi pakan untuk menempelnya larva. Pakan tersebut berupa pakan alami jenis Navicula sp. yang telah kami tumbuhkan sekitar 2 minggu sebelum penebaran larva. Berbeda dengan larva kerang mutiara yang cenderung menyukai substrat yang berwarna gelap untuk menempel, larva siput mata bulan menyukai substrat yang berwarna putih keabu-abuan.
Larva siput mata bulan mengalami metamorfosis sekitar 3 hari setelah pemijahan yang ditandai dengan larva yang mulai menempel di kolektor. Siklus hidup larva siput mata bulan juga mirip dengan jenis gastropoda lainnya seperti abalon, batu laga dan lain sebagainya. Untuk menjaga biota tetap sehat, kami pun melakukan pemantauan dan pergantian air secara rutin sekitar 3 hari sekali untuk menjaga kondisi kualitas air agar tetap mendukung pertumbuhannya.
Berbeda dengan organisme budidaya lainnya, budidaya siput mata bulan cenderung lebih lama sehingga di Indonesia, budidaya siput mata bulan secara komersil masih belum dilakukan. Walaupun demikian, siput mata bulan juga memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi sehingga memicu terjadinya overfishing dan akhirnya mengalami kelangkaan. Pengembangan budidaya siput mata bulan harus perlu dikembangkan di Indonesia mengingat organisme tersebut merupakan biota asli Indonesia. Selain itu, budidaya juga dapat dibarengi dengan restocking secara berkala untuk menjaga kelestarian dan ketersediaan organisme tersebut di perairan.
Posting Komentar