Ocean Grabbing dan Kolonialisme Sektor Kelautan

Beberapa tahun silam, kita sering mendengar isu reklamasi di Teluk Jakarta yang terus menimbulkan pro dan kontra hingga saat ini. 

Reklamasi sendiri bertujuan untuk memperluas wilayah dengan memanfaatkan wilayah yang belum termanfaatkan seperti wilayah pesisir, rawa-rawa dan zona lainnya menjadi wilayah daratan baru dengan cara menggeruk dan menimbunnya. 

Wilayah yang sudah direklamasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintah maupun swasta untuk pembangunan daerah sehingga dapat meningkatkan perekonomian di daerah tersebut dengan membangun pusat perbelanjaan, hotel, maupun perumahan (Baca: Pertumbuhan Ekonomi Sumberdaya Laut Indonesia).

Namun dilain sisi, masyarakat pesisir yang sudah puluhan tahun mengadu nasib menjadi nelayan, terpaksa beralih profesi untuk memenuhi hajat hidup mereka.

Walaupun menguntungkan secara ekonomi bagi sebagian pihak. Namun secara ekologi reklamasi jelas merugikan, jika tidak dipertimbangkan dengan matang karena dapat menimbulkan kerusakan ekosistem (Baca: Melindungi Laut dengan Kearifan Lokal Berbasis Konservasi). 

Ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan hutan bakau yang menjadi tempat hidup ikan dan biota akuatik lainnya menjadi rusak. Sehingga otomatis, zona penangkapan ikan pada wilayah tersebut menjadi hilang (Baca: Fakta Menarik Mengenai Karang yang Perlu Kamu Ketahui).

Kasus reklamasi menjadi salah satu contoh dari ocean grabbing, yang menjadi topik pembahasan dalam artikel kali ini.

Sebelum membahas lebih lanjut, dalam artikel kali ini sebagian diambil dari rangkuman hasil diskusi komunitas AKAR seri 5 yang diselenggarakan pada 16 April 2021. Dengan pemateri yaitu Bapak Muh. Karim, M.Si, Bapak Thomas Nugroho, M.Si, Bapak Dr. Suhana, dan Bapak Muh. Qustam Sahibuddin. Kebetulan penulis dipercayakan menjadi moderator dalam diskusi tersebut.

Apa itu Ocean Grabbing?

Ocean Grabbing diambil dari bahasa inggris, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti perebutan laut atau perampasan wilayah laut. 

Aktifitas Masyarakat Pesisir

Bennet et al. (2015) dalam Marine Policy, mendefinisikan Ocean Grabbing (perampasan laut) mengacu pada perampasan penggunaan, akses ke ruang laut dan atau sumber daya alam dari pengguna sumber daya sebelumnya atau penduduk setempat (Baca: Bambu Laut, Karang Langka yang Dilindungi.

Perampasan laut tersebut terjadi akibat proses tata kelola yang tidak tepat dan mungkin menyebabkan tindakan yang merusak keamanan atau mata pencaharian masyarakat setempat. Perampasan laut dapat dilakukan oleh lembaga publik ataupun demi kepentingan pribadi.

Ocean grabbing sendiri tidak terlepas dari imperialisme dan kapitalisme, karena ketiga faktor tersebut memiliki hubungan yang erat seperti yang dijelaskan oleh Doerr (2016).

Misalnya saja, ekspansi kekaisaran Eropa di Amerika mulanya dilandasi dari perebutan sumber daya alam (logam mulia). Kemudian dilanjutkan dengan sistem kerja paksa di perkebunan tebu dan kemunculan revolusi industri, yang juga sangat bergantung pada sumber daya alam tersebut (Baca:  Produksi Pangan Terhadap Kemajuan Umat Manusia). 

Faktor Utama Pemicu Ocean Grabbing

TNI (Trans National Institute) mengidentifikasi sedikitnya terdapat tiga faktor utama pemicu ocean grabbing yang berakar pada sistem ekonomi saat ini antara lain:

  1. Pertumbuhan perusahaan skala global yang bergerak pada produksi makanan laut bernilai ekonomis penting seperti tuna, ikan, udang dan minyak ikan untuk memenuhi kebutuhan elit perkotaan dan masyarakat kelas bawah.
  2. Konversi wilayah pesisir dan laut yang berorientasi pada keuntungan untuk keperluan industri, pemukiman dan rekreasi
  3. Finansialisasi sumber daya alam dan perusahaan perikanan

Karim (2021) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 5 aspek relokasi yang masuk kategori ocean grabbing antara lain:

  1. Pemanfaatan ruang pesisir dan laut secara tertutup untuk kepentingan pribadi
  2. Adanya pemanfaatan ruang pesisir, laut, dan pulau kecil secara tertutup
  3. Perubahan rezim property right atas sumber daya pesisir dan laut
  4. Adanya perubahan rezim dalam “mengalokasikan” sumber daya pesisir (seperti perubahan pemanfaatan sumber daya dan seberapa banyak yang bisa dimanfaatkan. Contohnya illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF)
  5. Perubahan rezim “pemanfaatan” sumber daya pesisir, laut dan pulau kecil, contohnya pulau kecil yang dijadikan daerah tambang.

Ocean grabbing dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan setempat, seperti kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pembuangan limbah dari kegiatan industri. Pembatasan akses akibat reklamasi, pembangunan sektor pariwisata, industri, dan perumahan (Baca: Polutan di Lingkungan Perairan dan Dampaknya Bagi Ekosistem). 

Menipisnya sumberdaya alam akibat overfishing, illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF). Perampasan hak-hak masyarakat adat akibat kebijakan pemerintah dan lain sebagainya (Baca: Omnibus Law Cipta Kerja Bagi Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia).

Maka dari itu, dalam menghadapi degradasi lingkungan dan sumberdaya alam, perlu dipertimbangkan aspek sosial-ekologis. Karena nafsu serakah para elit terhadap sumberdaya minyak, gas, mineral, protein dan kebijakan konservasi yang tidak memperhatikan aspek tersebut, nyatanya hanya memberikan kerugian besar bagi masyarakat pesisir, terkhusus nelayan kecil.

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama