Industri Akuakultur Berbasis Konservasi


Dewasa ini industri akuakultur (budidaya perairan) mulai mengalami peningkatan dari segi penerapan teknologi sehingga berpengaruh langsung terhadap hasil produksi akuakultur. Menurut data FAO, dalam kurun waktu 2006 sampai 2016, produksi perikanan budidaya dunia telah mengalami peningkatan pesat dari 61,5 juta ton pada tahun 2009 menjadi 101 juta ton pada 2014 atau naik rata-rata pertahun sebesar 6,1 persen.

Trend akuakultur dewasa ini masih terkonsentrasi pada jenis ikan, rumput laut dan krustasea yang memiliki nilai ekonomis tinggi dibandingkan komoditas lainnya. Sejak tahun 2010 hingga 2014 saja, produksi akuakultur pada komoditas unggulan tersebut mengalami peningkatan yaitu rumput laut 67,86%, nila 7,09%, bandeng 5,17%, udang 4,82%, dan lele 4,36%.

Industri akuakultur menjadi salah satu harapan dalam menyokong produksi pangan dunia, mengingat pada tahun 2050 diperkirakan populasi penduduk dunia akan meningkat hingga 9,7 milyar jiwa, sehingga penerapan teknologi dalam mendukung produksi akuakultur tidak bisa dielakkan. Namun dilain sisi, produksi perikanan dari hasil penangkapan mengalami kemunduran sehingga kedepan pasokan ikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dunia lebih bergantung pada sektor akuakultur (marikultur) dibandingkan sektor perikanan tangkap (FAO 2016).

FAO juga merilis data bahwa hasil penangkapan ikan mengalami penyusutan sekitar 380 ribu ton per tahun sejak 1996-2010, tapi data direkonstruksi menunjukkan penurunan lebih kuat dari 1,2 juta ton per tahun. Penurunan hasil tangkapan tersebut diduga disebabkan oleh perubahan iklim yang berdampak langsung terhadap area tangkapan dan produktifitas kerja nelayan tradisional.

Selain isu perubahan iklim, beberapa penelitian menunjukan bahwa penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dan aktivitas penangkapan lebih (over fishing) juga menjadi faktor penyebab penurunan hasil tangkapan ikan.

Ikan yang ditangkap secara berlebih dan tidak selektif dalam ukuran mengakibatkan ketersediaan ikan berusia muda meningkat dan menganggu proses regenerasi. Selain itu, penurunan populasi ikan tersebut mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Menurut data FAO pada tahun 2019, sektor perikanan selama tiga sampai empat dekade terakhir dalam banyak kasus di seluruh dunia telah menyebabkan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya dan mengancam habitat dan ekosistemnya.

Industri akuakultur berbasis konservasi merupakan suatu solusi dalam meningkatkan produksi budidaya dan sekaligus mendukung kelestarian lingkungan. Penerapan blue economy dalam sektor akuakultur menjadi salah satu langkah strategis dalam mencegah kerusakan eksosistem dan kelestarian biota.

Selain itu, budidaya organisme potensial yang terancam punah seperti siput mata bulan perlu untuk diterapkan sehingga dapat menyokong perekonomian masyarakat dan sekaligus menjadi solusi dalam mendukung ketersediaan spesies tersebut di alam. Restocking siput mata bulan telah dilakukan oleh LIPI pada tahun 2014 di Perairan Lombok Utara, dengan melepaskan 20 ribu anakan siput mata bulan di alam dari hasil budidaya. 

Hasil restocking tersebut sangat efektif dan terbukti sampai tahun 2019 organisme tersebut masih tersedia dan tumbuh hingga berukuran dewasa di perairan tersebut (Baca: Kisah Dibalik Budidaya Siput Mata Bulan).
Benih Siput Mata Bulan untuk Restocking (2014)
Siput Mata Bulan Hasil Restocking (2019)

Selain siput mata bulan, budidaya cephalopoda berbasis konservasi juga telah dilakukan oleh pembudidaya di Jepang dan Thailand dengan sejarah yang cukup panjang yaitu sekitar 50 tahun. Kegiatan restocking tersebut didasarkan pada kesadaran masyarakat tentang menipisnya sumber daya alam. 

Akuakultur berbasis konservasi menjadi salah satu solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan tersebut dengan pemerintah, akademisi, peneliti, pembudidaya dan masyarakat sekitar turut andil di dalamnya.

Industri akuakultur maupun Balai Benih Ikan terkhusus yang bergerak dalam budidaya pembenihan (hatchery) melakukan produksi khususnya untuk komoditas yang mulai terancam dan selanjutnya beberapa persen dari hasil produksi tersebut dialokasikan untuk ditebar di alam (restocking). Namun yang menjadi perhatian dari restocking yaitu komoditas tersebut merupakan komoditas asli, sudah mulai terancam di alam dan tidak dilakukan rekayasa secara genetik maupun dengan penggunaan bahan kimia untuk menjaga kelestarian genetik spesies asli di perairan tersebut.

Penebaran benih dilakukan pada zona-zona wilayah tertentu atau zona wilayah konservasi sehingga penangkapan benih hasil restocking dapat dihindari. Untuk mencegah penangkapan benih hasil restocking, juga dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan dan pelarangan berupa aturan (regulasi) yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Tokoh adat dan tokoh masyarakat juga turut andil dengan melakukan pengawasan dan pembatasan wilayah penangkapan melalui hukum adat (kearifan lokal) seperti yang dilakukan oleh beberapa daerah di Nusantara, misalnya Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton dengan aturan adat (ombo), Ambon dengan sasi dan lain sebagainya (Baca: Melindungi Laut dengan Kearifan Lokal Berbasis Konservasi).

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama