Pada masa pandemi Covid-19 bertepatan pada 24 Maret 2020, kami dibuat gempar akibat kabar burung dari kampung halaman. Kabar itu bersumber dari keluarga teman kosan saya.
Pada pukul 23.00 WIB, telepon berbunyi. Sepanjang menelpon, wajah teman kos saya pucat pasi. Setelah menelepon, tanpa pikir panjang ia lantas mengajak kami untuk membeli telur di warung terdekat.
Waktu itu saya pun kaget, lalu bertanya-tanya kepadanya. Ternyata ada kabar dari kampung yang menghimbau untuk memakan telur rebus sebelum jam 12 malam. Mereka mempercayai itu untuk menangkal penyebaran Covid-19.
Setelah membeli telur, kami pun merebus telur tersebut. Teman-teman kosan saya masing-masing memakan 1 butir telur. Sedangkan saya makan 2 butir, dicampur dengan indomie rebus. Nyumm.. nikmat sekali.
Keesokan harinya, kami baru tahu ternyata kabar angin itu bersumber dari video bayi yang menghimbau Masyarakat untuk memakan telur rebus.
Walaupun merugikan kami, video hoax tersebut berdampak langsung terhadap penjualan telur di kampung kami. Harga telur lantas naik dan laku keras dalam satu malam.
Video hoax yang berdurasi 12 detik tersebut, diketahui telah mengelabui ribuan orang di daerah kami. Dari orang yang berpendidikan rendah, hingga berpendidikan tinggi pun juga tak luput dari hoax video tersebut.
Keberadaan Hoax tidak terlepas dari Sejarah umat manusia. Dari zaman batu, hingga zaman teknologi informasi, hoax selalu ada (Baca: ProduksiPangan Terhadap Kemajuan Umat Manusia).
Para pembuat hoax terkadang membuat hoax untuk memanipulasi korban. Sekedar untuk kejahilan atau mencari keuntungan.
Konsepnya hampir sama dengan penipuan online, penyebaran ideologi radikal, dan terorisme. Pelaku memanfaatkan kelemahan otak korban untuk meretasnya.
Hal ini telah dijelaskan oleh Daniel Kahneman dalam bukunya "Thinking, Fast and Slow". Daniel Kahneman merupakan salah satu pemikir hebat abad ini. Gagasannya telah berdampak pada berbagai bidang seperti ekonomi, medis, dan politik.
Pada 2002, ia mendapatkan hadiah nobel ekonomi atas jasanya
dalam mengkombinasikan ilmu psikologis dengan ilmu ekonomi.
Dua Sistem dalam Pikiran Kita
Daniel Kahneman membagi sistem otak menjadi 2 yaitu sistem 1 : bersifat cepat, intuitif, dan emosional dan sistem 2 : lebih lambat, bertujuan dan lebih logis.
Sistem 1 : Cepat, Intuitif, dan Emosional (Otak yang Tidak Rasional)
Sekitar 90% atau lebih, kehidupan kita dipengaruhi oleh sistem 1. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal, para manipulator memanfaatkan sistem 1 ini untuk memanipulasi kita.
Sistem 1 ini cenderung tidak rasional, ia bekerja tanpa pertimbangan yang matang dan secara intuitif. Manipulator memanfaatkan bias-bias kognitif pada sistem 1 ini. Walaupun demikian, kehidupan kita sehari-hari sangat dipengaruhi oleh sistem 1.
Ketika kita mengendarai sepeda motor, kita tidak perlu berfikir keras. Apalagi ketika melewati jalan yang sering kita lalui.
Perjalanan pulang dari kantor ke rumah misalnya, kita bisa menempuh jalan tersebut dengan sangat mudah. Bahkan kita bisa santai sambil bernyanyi kecil, sistem 1 telah mengatur perjalanan kita.
Sistem 1 mungkin telah menyelamatkan kita dari kepunahan. Coba bayangkan, misalnya saja kita sedang tersesat di hutan rimba. Ketika melihat semak-semak bergoyang, apa yang akan kita lakukan?
Pada waktu ini, sistem 1 akan memerintahkan kaki kita untuk kabur menjauh. Bayangkan jika kita kelamaan mikir, tiba-tiba ada harimau. Matilah kita diterkam harimau itu, disini untung kita memiliki sistem 1.
Aktifitas sehari-hari kita sangat ditentukan oleh sistem 1 ini. Misalnya saja dalam mengenal wajah orang terdekat kita, hingga menyelesaikan perhitungan yang mudah "1+1=2". Kalau perhitungannya lebih sulit lagi, kita memerlukan sistem 2 untuk bekerja.
Sistem 2 : Lambat, Bertujuan dan Logis (Otak yang Rasional)
Otak rasional kita sangat diatur oleh sistem 2 yang bersifat lambat, bertujuan dan logis. Jika matematika sederhana dapat diselesaikan oleh sistem 1, maka sistem 2 akan menyelesaikan soal-soal yang lebih kompleks dan sukar.
Bagi orang-orang awam seperti saya, mengerjakan perhitungan algoritma membutuhkan konsentrasi ekstra, fokus yang tinggi dan energi yang banyak untuk menyelesaikan soal tersebut.
Tidak heran ketika selesai menyelesaikan ujian, kita pasti akan sangat kelelahan. Padahal kita tidak menggunakan kerja fisik. Hal ini menjadikan sistem 2 jarang digunakan.
Kahneman menganalogikan sistem 2 sebagai penasihat pemalas. Ia bisa menyelasaikan semuanya dengan baik, namun memilih menyerahkan tugas kepada sistem 1 agar lebih hemat energi.
Para akademisi maupun filosof mungkin lebih sering menggunakan sistem 2 mereka dibandingkan orang awam.
Mereka menggunakan sistem 2 dengan baik ketika mereka berfikir, meneliti, menganalisis serta memvalidasi informasi yang mereka peroleh untuk dijadikan suatu gagasan.
ketika saya menulis artikel ini, saya juga menggunakan sistem 2 saya. Apalagi menulis sambil mengingat-ingat isi buka yang sudah lama saya baca ini.
Sistem 2 yang bersifat logis ini menghindari kita dari bias kognitif akibat sistem 1 yang ceroboh. Namun karena malas, ia pun menyerahkan tugas tersebut kepada sistem 1. Sehingga tak heran, kita seringkali terkena bias dan kesalahan dalam berfikir.
Bias dan Kesalahan Berpikir
Kita mungkin mengira hidup kita dikendalikan oleh pikiran rasional, padahal menurut Kahneman, sebagian besar keputusan kita (mungkin lebih dari 90%) nyatanya diambil alih oleh Sistem 1, si cepat yang ceroboh.
Akibat dari kecerobohan sistem 1 ini, kita seringkali terkena bias dan kesalahan dalam berfikir. Beberapa yang dibahas Kahneman antara lain :
1. Anchoring Effect
Misalnya saja, ketika kita berbelanja di marketplace, lalu kita melihat harga diskon 50%. Harga kaos kaki yang awalnya Rp. 400.000 kemudian dijual dengan harga Rp. 200.000.
Walaupun harga diskon sebenarnya masih sangat mahal untuk sepasang kaos kaki, tanpa sadar otak kita sudah membuat jangkar dan menganggap harganya murah jika dibandingkan dengan harga awal.
Bias kognitif ini seringkali dimanfaatkan oleh negosiator ulung. Mereka membuat jangkar yang luas, seakan korban diuntungkan. Padahal nyatanya tidak sama sekali.
Solusi untuk bias ini ya kita harus mikir lagi, cari referensi untuk pembanding. Gunakan sistem 2 kita untuk menganalisis, lalu tanyakan pada diri kita sendiri. Apakah kamu rela membeli kaos kaki itu dengan harga Rp. 200.000 ?
2. Availability Heuristic
Bias ini terjadi akibat kita menilai sesuatu berdasarkan informasi yang mudah kita ingat, tidak berdasarkan data maupun fakta.
Saya memiliki kakek yang berusia lebih dari 80 tahun, sejak remaja hingga saat ini, beliau masih setia menghisap rokok lintingannya. Ketika saya mengatakan merokok tidak berbahaya bagi kesehatan, maka saya sudah terjebak dalam bias ini.
Pada 2014-2019, kita pernah mempunyai seorang mentri pada Kementrian Kelautan dan Perikanan yang bernama ibu Susi Pudjiastuti. Hanya berbekal pendidikan SMP, beliau berhasil menjadi mentri KKP.
Menurut saya, kebijakan dan kinerja beliau baik. Beberapa kebijakan beliau yaitu menangkap kapal ilegal dan melarang ekspor lobster (Baca : Mengenal Lebih Jauh Lobster Organisme Akuatik Bernilai Ekonomis Tinggi). Lantas apakah kita bisa menyimpulkan bahwa pendidikan itu tidak penting untuk sukses?
Netizen seringkali terperangkap bias ini, terkadang hal-hal viral dianggap umum, hal yang trending (walaupun sebenarnya ga guna) malah dianggap penting serta jumlah like malah dianggap kebenaran.
Tak heran banyak konten kreator yang memiliki follower dan jumlah like konten yang banyak malah lebih depercayai dibanding profesor pada bidang tersebut. Sungguh miris sih ini.
Solusi dari bias ini ya mikir lagi. Gunakan sistem 2 kamu untuk mencari data pada sumber yang terpercaya, tahan diri agar tidak heboh, dan yakinkan dirimu bahwa apa yang kamu yakin benar belum tentu adalah realitas yang sesungguhnya.
3. Loss Aversion
Bias ini terjadi akibat kita cenderung lebih merasa takut kehilangan sesuatu dibandingkan mendapatkan sesuatu dengan nilai yang setara. Menurut Kahneman, kerugian itu terasa 2 kali lipat dibandingkan keuntungan yang setara.
Bias ini terkadang membuat kita takut dalam mengambil keputusan. Semisal ketika ada perlombaan, kita jadi enggan untuk ikut akibat takut kalah, padahal kita punya peluang juga untuk menang.
Beberapa bulan ini portofolio pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok. Kita lebih sering melihat nilai yang berwarna merah daripada hijau. Bias ini bisa mempengaruhi kita dalam menjual saham kita, tanpa menganalisis lebih dalam.
Solusi dari bias ini ya kita mikir kembali. Gunakan sistem 2 kita untuk menganalisis, apakah sebenarnya kita rugi atau hanya presepsi kita saja, kemudian jangan biarkan ketakutan mengambil alih diri kita untuk membuat keputusan.
4. Confirmation Bias
Bias ini terjadi apabila kita lebih cenderung mempercayai dan mengingat informasi yang mendukung gagasan kita dan menolak informasi yang bertentangan.
Misalnya saja, saya mempercayai bahwa tepung kedelai brand A itu baik untuk pakan udang. Saya akan membagikan review yang baik tentang brand tersebut di sosmed saya, sedangkan review buruk akan saya abaikan (Baca: Tepung Kedelai, Sumber Protein Nabati Utama pada Pakan Ikan dan Udang).
Bias ini sering terjadi pada momen pemilihan umum, kita cenderung membela mati-matian calon yang kita pilih. Semua informasi yang baik tentang dia, akan kita share. Informasi negatif tentang calon tersebut akan kita abaikan, bahkan kita akan memberikan komentar yang buruk pada informasi negatif tersebut.
5. Halo Effect
Bias ini terjadi apabila kita melihat suatu kesan positif pada suatu aspek dan menilai aspek lainnya juga positif.
Misalnya saja, saya memiliki teman yang rapi. Kemudian saya menganggap dia juga disiplin, rajin, baik hati, dan tidak sombong, walaupun belum tentu. Tidak ada manusia yang sempurna, mungkin dapat menjawab bias ini.
6. Hindsight Bias
Bias ini terjadi apabila kita seakan mengetahui suatu hal yang telah terjadi, meski sebenarnya kita masih ragu-ragu atau belum tahu.
Misalnya saja, setelah Bitcoin naik, kita berkata bahwa sebenarnya kita sudah tau akan naik, padahal sebelumnya kita juga masih ragu-ragu.
7. Overconfidence Bias
Bias ini terjadi apabila kita terlalu percaya diri terhadap kemampuan dan penilaian kita sendiri.
Misalnya saja, saya berhasil membudidayakan larva kerang mutiara, walaupun baru pertama kali. Kemudian saya percaya diri bahwa siklus depan juga akan berhasil, tanpa ada analisis dan persiapan yang matang (Baca: Mengintip Kehidupan Larva Kerang Mutiara).
8. Status Quo Bias
Bias ini terjadi apabila kita lebih cenderung memilih untuk tidak merubah keadaan (tetap pada zona nyaman), meskipun perubahan akan membawa hasil yang lebih baik.
Misalnya saja, kita tetap memilih bertahan pada suatu pekerjaan, padahal ada tawaran posisi dari perusahaan lain yang lebih baik untuk masa depan kita. Walaupun loyal dengan perusahaan saat ini, kita juga perlu mempertimbangkan tawaran itu.
9. The Sunk Cost Fallacy
Bias ini terjadi apabila kita cenderung ingin melanjutkan suatu hal karena sudah mengorbankan uang, waktu dan tenaga, walaupun sebenarnya tidak menguntungkan untuk melanjutkan.
Misalnya saja, kita ingin terus melanjutkan proyek A karena sudah mengeluarkan anggaran yang besar, padahal ada proyek B yang lebih menjanjikan dan menguntungkan. Mungkin kita perlu menganalisis dan membandingkan kira-kira mana yang harus kita ambil.
Filosofi kuda mati menggambarkan bias ini. Daripada kita membuang waktu untuk menghidupkan kembali kuda yang sudah mati, lebih baik kita mencari kuda lain yang lebih sehat dan kuat.
10. Framing Effect
Bias ini terjadi apabila cara suatu informasi itu disampaikan bisa mengubah cara kita merespon walaupun maknanya sama.
Misalnya saja, kita cenderung memilih pernyataan "80% pasien akan bertahan hidup dari pandemi" dari pada "20% pasien akan meninggal akibat pandemi", walaupun sebenarnya makna dari 2 pernyataan itu sama saja.
Banyak bias dan kesalahan berfikir yang dijelaskan pada buku ini, lengkap dengan deskriptif gambar. Saya tidak bisa menjelaskan satu persatu karena terlalu banyak untuk artikel blog ini (mungkin akan dijelaskan pada artikel selanjutnya).
Kenapa Buku ini Penting untuk Dibaca?
Buku ini merupakan buku favorit saya, yang jujur bisa merubah pemikiran saya. Saya sangat terbantu dengan lebih berhati-hati dalam berfikir dan mengambil keputusan.
Seperti yang kita ketahui, bahwa zaman digital ini kaya akan informasi. Dari informasi yang berguna, hingga informasi yang tidak berguna, seperti hoax juga tidak bisa kita hindarkan (Baca: Big Data : Data yang Maha Kuasa).
Ketika kita terlalu bergantung dengan sistem 1 kita yang ceroboh, maka siap-siap saja kita akan merugi dan mudah dimanipulasi oleh informasi tersebut.
Maraknya penipuan online, pencucian otak, hingga masifnya penyebaran radikalisme akhir-akhir ini menjadi bukti bahwa bias dan kesalahan berfikir menjadi kelemahan kita.
Kita membutuhkan ilmu pengetahuan yang mendalam serta tips untuk menghadapi bias dan kesalahan berfikir tersebut. Menurut saya, semua itu dapat diperoleh dari membaca buku ini.
Walaupun bahasannya sangat berat, membaca buku ini juga dapat melatih sistem 2 kita agar bisa mencegah sistem 1 kita yang ceroboh. Mudah-mudahan dengan membaca buku ini, sistem 1 dan 2 kita dapat bekerja dengan lebih baik lagi.
Tulisan ini merupakan resume dari buku Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman
Tertarik memperdalam wawasan Anda setelah membaca resensi ini? Langsung saja klik link ini untuk mendapatkan bukunya dan rasakan manfaatnya secara langsung!
Posting Komentar